Digitalisasi Pendidikan dan Inklusivitas

Indonesia Menyapa, Jakarta – Hari Pendidikan yang diperingati setiap bulan Mei menjadi momentum refleksi bagi kita untuk menilai sejauh mana kita mampu menciptakan pembelajaran yang menyesuaikan tren zaman. Salah satunya digitalisasi pendidikan, yang dapat memicu kita untuk belajar aktif, tidak hanya belajar dengan cara-cara lama.

Kita juga dapat memanfaatkan multimedia dalam bentuk bahasa, gambar, suara, dan konten-konten digital yang dihasilkan oleh smart technology dan artificial intelligence untuk mendukung proses pembelajaran.

Tantangan yang kita hadapi dalam digitalisasi pendidikan adalah memastikan bahwa semua siswa merasa diterima dan didukung, khususnya bagi kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan, salah satunya siswa disabilitas.

 

Fasilitas Penunjang

Pembelajaran digital pada siswa disabilitas punya kekhasan dibanding siswa normal; mereka membutuhkan fasilitas penunjang. Di salah satu sekolah luar biasa (SLB) rujukan di Jambi, SLB Prof. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, saya memotret bagaimana siswa tunanetra antusias belajar dengan laptop atau komputer dengan alat bantu audio. Selain itu, adanya fasilitas penunjang seperti screen reader, JAWS, MPDI, dan beberapa aplikasi penambahan audio.

Belajar dengan teknologi digital bagi siswa tunanetra adalah ruang aktualisasi yang mengasyikkan. Mereka yang selama ini terbatas dan terhambat dalam mengakses informasi, tiba-tiba disuguhkan dengan ragam pengetahuan dan keterampilan dari algoritma internet yang terhubung secara global.

Saya mewawancarai seorang siswa tunantera dan menanyakan bagaimana aktivitas pembelajaran digital yang sering ia lakukan. “Kami banyak belajar dari internet, terutama untuk tugas sekolah yang sulit. Internet membantu saya mencari informasi tentang syaraf dan otot untuk belajar terapi masas dan akupuntur. Saya juga googling alat-alat seni tradisional seperti Kajon,” ucap salah satu siswa SLB Prof. Sri Soedewi Masjchun Sofwan tersebut.

Potret di atas hanya secuplik kondisi ideal pembelajaran digital bagi siswa disabilitas. Pada cakupan yang lebih luas, kita banyak menemukan siswa disabilitas merasa belum terpenuhi hak-haknya, mereka juga banyak yang tidak mau mengenyam pendidikan di sekolah inklusi.

Menurut data UNICEF yang bekerja sama dengan Bappenas dan SMERU Reseach yang diterbitkan pada 2023, angka anak-anak disabilitas di Indonesia mencapai 425 ribu orang, persentase anak-anak disabilitas antara 0,6 sampai 3,3 persen dari keseluruhan populasi anak di Indonesia.

Sedangkan menurut data yang diutarakan oleh Asisten Deputi Kemenko PMK akhir 2023, ada sekitar 146.205 siswa disabilitas yang mengenyam pendidikan inklusif, sebanyak 40.928 sekolah sudah membuka kelas inklusi.

Bila merujuk dua data dari sumber yang berbeda ini, ada sekitar 278 ribu anak masih belum mendapatkan pendidikan inklusi. Mereka masih nyaman sekolah di SLB, sebagian disabilitas lainnya putus sekolah.

Merdeka belajar yang digagas Kemendikbudristek harus memfasilitasi siswa disabilitas tumbuh di ruang inklusif, agar terciptanya kesetaraan dalam belajar. Pemerintah juga bisa menjamin bahwa mereka mampu mengembangkan potensi lewat teknologi digital.

 

Perlu Perubahan Mindset

Pembelajaran digital di sekolah inklusi merupakan peluang sekaligus harapan. Perlu ada perubahan mindset dari sekolah, guru, dan siswa disabilitas mengenai cara beradaptasi dengan teknologi digital. Sekolah juga perlu menyediakan layanan khusus dengan pendekatan individual yang diimbangi dengan jumlah guru pendamping yang proporsional.

Anna Hatta, Han Wang, Joko Yuwono, dan Shinsaku Nomura dalam buku berjudul Teknologi asistif untuk anak-anak dengan disabilitas di sekolah inklusif dan sekolah luar biasa di Indonesia menyebut bahwa teknologi yang digunakan guru dalam mengajar disabilitas terbagi menjadi dua yaitu teknologi tingkat tinggi dan teknologi sederhana.

Teknologi tingkat tinggi mencakup peralatan elektronik, peralatan pendukung, perangkat lunak, aplikasi digital yang membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan teknologi sederhana. Sedangkan teknologi sederhana berkaitan dengan perangkat non-elektronik yang didesain dengan biaya yang lebih terjangkau.

Teknologi asistif dalam pembelajaran harus sejalan dengan jenis disabilitas dan kebutuhan masing-masing jenis tersebut. Sebagian teknologi juga bisa berlaku untuk semua jenis disabilitas, misalnya komputer dengan alat bantu audio, terjemahan teks ke suara, audio book, papan komunikasi, video cerita bergambar, kartu bergambar, serta berbagai software dan aplikasi digital.

Adapun penerapan teknologi secara khusus pada satu jenis disabilitas, misalnya kartu bahasa isyarat dan alat perekam bagi siswa tunarungu. Aplikasi pembaca layar, pembesar layar, tongkat putih, dan buku braile bagi siswa tunanetra. Serta modifikasi keyboard, kursi roda, dan alat bantu gerak bagi tunadaksa.

Proyeksi keberhasilan pembangunan pendidikan inklusif berbasis teknologi harus diupayakan dalam bentuk target dan indikator-indikator yang terukur, mulai dari bangunan infrastruktur fisik dan digital yang memadai, pelatihan guru pendamping yang memiliki kompetensi digital, serta akses siswa terhadap internet, pembelajaran online, dan literasi digital sebagai cara terbaik untuk memperkecil kesenjangan antara siswa disabilitas dan siswa normal di sekolah inklusi.

 

Banyak Contoh

Begitu banyak contoh capaian siswa disabilitas yang ditempa di bangku sekolah yang membuat kita kagum. Anis Rahimatillah, alumni di salah satu sekolah di Bantul, Yogyakarta mampu memenangkan olimpiade IPA secara nasional saat duduk di bangku sekolah. Setiap hari ia belajar pakai laptop dengan kedua kakinya. Atas kegigihan yang tak kenal putus asa, menghadapi hambatan yang tidak mudah, ia diterima sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Jurusan Biologi.

Tidak berhenti sampai di situ, ia juga dapat penghargaan sebagai duta kampus dalam kategori inovasi pada kompetisi pemilihan Duta Kampus SDGs 2022. Anis Rahimatillah mencerminkan bahwa disabilitas ketika diberi kesempatan untuk mengecap bangku sekolah dan kuliah sebagaimana orang pada umumnya. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia bisa membuktikan bahwa siswa disabilitas mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, berinovasi, dan berprestasi.

Akhirnya, pada momen peringatan hari pendidikan nasional tahun ini, kita tidak hanya memikirkan esensi merdeka belajar, tapi juga pendidikan yang memerdekakan, terutama pendidikan yang setara bagi yang lemah, yang tak berdaya, yang terabaikan. Tugas pemerintah adalah mewujudkan digitalisasi pendidikan yang inklusif untuk siswa disabilitas.

Agung Iranda dosen Psikologi Universitas Jambi, pengurus HIMPSI Wilayah Jambi

 

Sumber: Digitalisasi Pendidikan dan Inklusivitas (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *