Indonesia Menyapa, Jakarta – Sidang lanjutan Praperadilan yang diajukan Advokat Siwalima Maluku (ASM) selaku kuasa hukum Abdul Basir Latuconsina melawan Polsek Kramatjati dan Polres Metro Jakarta Timur kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sidang kali ini menghadirkan ahli hukum acara pidana yang juga Doses Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Dr. Idris Wasahua, M.H.
Dr. Idris Wasahua, M.H dalam persidangan tersebut memberikan pendapat bahwa ruang lingkup Praperadilan terkait dengan sah tidaknya penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, akan tetapi didasarkan pada putusan MK Nomor 21/PUU XII/2014. Hanya saja, tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas hal-hal apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk menilai sah tidaknya suatu penetapan tersangka, karenanya hal itu dikembalikan pada doktrin hukum dan praktik peradilan.
Salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar tidak sahnya penetapan tersangka adalah tidak diperiksanya calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Perlunya pemeriksaan calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka didasarkan pada pertimbangan hukum putusan MK Nomor…yang dalam praktik telah dipedomani oleh beberapa putusan pengadilan antara lain dalam kasus Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri Bandung.
Lebih lanjut dikatakan Idris, dalam praktik peradilan, terdapat beberapa alasan lain yang dapat dijadikan dasar suatu penetapan tersangka tidak sah, antara lain; Penetapan tersangka didasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan oleh pejabat yang tidak sah, Penetapan tersangka tanpa dugaan tindak pidana yang jelas, Penetapan tersangka tidak didasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan, Penetapa tersangka tidak didasarkan pada bukti permulaan minimal 2 alat bukti yang sah, Penetapan tersangka didasarkan pada proses mendapatkan bukti permulaan yang cacat prosedur, Penetapan tersangka atas kualitas subjek di luar kompetensi penyidik, Penetapan tersangka dilakukan atas dasar proses penyelidikan dan penyidikan perkara lain.
Selain alasan-alasan tersebut, menurut Idris, beberapa alasan yang dapat pula dijadikan dasar tidak sahnya penetapan tersangka adalah, bilamana proses penetapan tersangka tersebut tidak dilakukan melalui gelar perkara, serta penetapan tersangka tersebut tidak didukung dengan barang bukti. Hal ini merujuk pada Pasal 25 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Tindak Pidana.
Dalam permohonan Praperadilan, Pemohon mendalilkan antara lain penetapan tersangka yang dilakukan penyidik tidak didahului oleh pemeriksaan dirinya sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Pemeriksaan terhadap yang bersangkutan baru dilakukan ketika telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara pihak penyidik mendalilkan bahwa pemohon telah dipanggil beberapa kali namun tidak hadir.
Terkait dengan adanya panggilan tersebut, ahli ketika ditanya apakah calon tersangka yang tidak hadir setelah dipanggil penyidik untuk dimintai keterangan sebagai saksi dapat dijadikan alasan penyidik untuk menetapkannya sebagai tersangka?
Yang dipertimbangkan dalam putusan MK itu calon tersangka harus diperiksa, dibuatkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan), bukan dipanggil, meskipun telah dipanggil dan tidak datang, tetap tidak bisa dijadikan alasan penyidik untuk menetapkan tersangka. Karenanya, alasan penyidik yang demikian menurut hemat ahli tidak berdasar hukum, dan dapat dijadikan dasar penetapan tersangka tersebut tidak sah, demikian kata Idris.
Hal lain yang mengemuka dalam sidang tersebut adalah terkait dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka dengan status Daftar Pencarian Orang (DPO). Pihak Termohon dalam jawabannya mendalilkan sekaligus memohon kepada hakim pemeriksa permohon praperadilan tersebut permohonan praperadilan yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima, dengan alasan Pemohon saat ini telah ditetapkan dengan status DPO.
Terhadap hal tersebut, Idris mengatakan bahwa larangan pengajuan permohonan praperadilan yang diatur dalam Surat Edara Mahkamah Agung tersebut adalah bagi tersangka yang telah ditetapkan sebagai DPO, dan bukan ditetapkan DPO setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan praperadilan.
Menurut hemat ahli, ketentuan tentang larangan Pengajuan Praperadilan bagi Tersangka dengan status DPO yang dimaksudkan dalam Surat Edaran MA tersebut adalah jika pada saat mengajukan permohonan praperadilan, tersangka tersebut telah berstatus sebagai DPO.
Sebaliknya, jika ketika mengajukan permohonan praperadilan, tersangka tersebut belum berstatus sebagai DPO, maka permohonannya tetap dapat diperiksa dan diputus, dan tidak dapat dinyatakan tidak dapat diterima sebagaiman disebutkan dalam SEMA tersebut.
Dengan kata lain, ahli ingin tegaskan bahwa SEMA tersebut hanya menjangkau larangan pengajuan praperadilan oleh tersangka yang telah berstatus DPO pada saat mengajukan permohonan praperadilan. Sedangkan bilamana waktu mengajukan permohonan praperadilan, tersangka tersebut belum berstatus DPO, maka tidak termasuk dalam SEMA tersebut, meskipun sesudah itu yang bersangkutan berstatus DPO.