Indonesia Menyapa, Jakarta — Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, buka suara mengenai pembahasan revisi undang-undang (RUU) Polri.
Diketahui, RUU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) tersebut banyak mendapat sorotan lantaran menambah kewenangan baru bagi institusi kepolisian.
Satu di antarnya soal kewenangan Polri untuk pemblokiran konten di ruang siber, sebagaimana pada Pasal 16 huruf Ayat (1) Huruf q RUU Polri.
Mardani menilai, dalam proses pembentukannya, undang-undang harus memenuhi sejumlah syarat.
Misalnya, harus dibahas bersama-sama dan memenuhi syarat partisipasi publil bermakna.
“Semua undang-undang mestinya dibahas dengan seksama. Kajian akademisnya mesti kuat, partisipasi publiknya mesti terpenuhi, dan mesti hati-hati,” kata Mardani, kepada wartawan di Jakarta Pusat, pada Senin (22/7/2024).
Ia menekankan hal itu perlu dilakukan secara hati-hati karena objek yang dibuat adalah norma hukum.
Mardani kemudian menyoroti penilaian sejumlah pihak bahwa RUU Polri terkesan hanya menambah kewenangan, namun di sisi lain tidak memperkuat pengawasan terhadap institusi kepolisian.
“Misal kewenangan tapi tidak diperkuat pengawasan, maka itu akan jadi masalah. Dan sering kali yang punya masalah, mereka yang ada di level bawah,” ungkap Mardani.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, reformasi kepolisian merupakan hal yang bersifat urgensi, tapi RUU Polri bukan reformasi kepolisian.
Hal itu disampaikan Bivitri, dalam diskusi publik bertajuk ‘Polisi ‘Superbody’: Siapa yang Mengawasi?’, di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, pada Senin (22/7/2024).
“Reformasi kepolisian jelas urgent, tapi revisi UU (Polri) yang sekarang bukan reformasi kepolisian,” kata Bivitri.
Ia mengatakan, sudah banyak kajian mengenai isu-isu yang mencuat terkait institusi kepolisian. Misalnya, soal kekerasan, korupsi, hingga persepsi publik ‘no viral no justice’ (tak viral, tak ada keadilan).
Kata Bivitri, reformasi kepolisian sudah sejak lama disuarakan. Terlebih, saat kasus pembunuhan yang melibatkan eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo mencuat. Namun, sayangnya hal tersebut seperti hilang terbawa angin.
Meskipun saat ini tengah ramai kabar soal RUU Polri, tapi substansi dari undang-undang tersebut dinilai tak merespresentasikan reformasi Polri, melainkan penambahan kekuasaan terhadap institusi penegak hukum itu.
“Sekarang ada revisi UU, tapi isinya bukan reformasi. Isinya adalah penambahan kekuasan,” ujarnya.
Terkait hal itu, menurut Bivitri, kewenangan tak bisa dilepaskan dari pengawasan. Terlebih, Indonesia adalah negara hukum. Dimana inti dari negara hukum adalah pembatasan kekuasaan dan HAM.
“Dengan itu, setiap kewenangan negara harus memerhatikan dua aspek ini. Kalau tidak, tidak ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang. Yang terjadi selama ini minim pengawasan, minim pertanggungjawaban,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bivitri menyoroti adanya newspeak atau bahasa yang mengandung ambigu, yang digunakan dalam RUU Polri.
“Kalau kita membicarkaan kepolisian itu enggak bicara like and dislike (suka atau tidak suka). Kepolisian itu jelas dibutuhkan di negara ini maupun di semua negara. Tapi kita harus lihat wajahnya yang nyata itu seperti apa,” kata Bivitri.
Ia menyinggung beberapa newspeak. Pertama, penggunaan kata ‘pembinaan’
“Kata pembinaan ini maknanya apa? Kenapa harus dibina? Siapa yang dibina? Dibina dengan apa?” kata Bivitri.
Kedua, penggunaan kata ‘ketertiban’. Ia mencontohkan praktik kata ketertiban itu dengan kasus kematian Afif Maulana, pelajar SMP di Padang yang tewas diduga dianiaya polisi.
“Pada umumnya, ada anggapan bahwa pokoknya harus tertib. Makanya anak kecil, Afif dan teman-temannya, dia mau tawuran, melanggar ketertiban kah tawuran? Iya. Tapi apakah sampai harus diperlakulan seperti itu, kan tidak,” ucapnya.
“Tapi kan timbul anggapan bahwa pokoknya asal tertib, semua libas. Itu yang mengerikan dengan newspeak seperti ini,” tambahnya.
Ketiga, kata Bivitri, soal penggunaan kata ‘kepentingan nasional’.
“Apa itu kepentingan nasional? Apakah kepentingan saya? Kepentingan seluruh bangsa ini? Kepentingan korporasi?” tutunya.
Ia menjelaskan, salah satu asas pembentukan perundang-undangan (PPP) adalah kejelasan rumusan atau tidak adanya ambiguitas.
“Kita harus ingat salah satu asas dalam pembentukan perundang-undangan, kejelasan rumusan. Pasal 5 huruf f UU PPP,” katanya.
Ia menjelaskan mengapa asas itu diatur dalam UU. Katanya, jika ada penggunaan kata-kata yang tidak jelas dalam ketentuan UU tertentu, maka akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas oleh pihak tertentu.
“Dia akan membuka peluang interpretasi yang terlalu luas untuk kepentingan orang-orang yanh punya kekuasaan. Kekuasaan itu dari power politik maupun modal ya. Akhirnya di situlah terjadi yang kita namakan pasal-pasal karet.”