Rebutan Mesin Pencetak Uang dalam Industri Biodiesel

Indonesia Menyapa, JakartaPolicy brief biodiesel oleh Auriga Nusantara dan Satya Bumi dipersoalkan oleh Muhamad Rahmat di laman kolom detikcom. Ia adalah Data Analyst di Kementerian Keuangan, yang saat ini berdinas di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Rahmat mengklaim bahwa Auriga Nusantara dan Satya Bumi gagal paham dengan isi policy brief tersebut. Bahkan bisa “menjurus pada fitnah”. Dalam tulisan pendek ini, saya akan membantah klaim tersebut.

Saya menghindari debat definisi. Saya sedikit mengesampingkan “sopan santun akademik”. Saya malah akan langsung menukik ke jantung pokok persoalan yang dibedah oleh policy brief itu. Policy brief itu jernih, jelas, dan lugas. Tidak mengandung misinformasi, apalagi fitnah. Ini alasannya.

Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang diusik policy brief itu adalah pertanyaan sederhana tapi menggelisahkan. “Mengapa perusahaan sawit raksasa perlu mempekerjakan mantan jenderal, mantan pejabat tinggi dalam bisnis mereka?” Para mantan ini yang secara keren dalam policy brief tersebut ditahbis sebagai PEP (political exposed person). Di negara maju seperti Swiss atau Selandia Baru, kita jarang sekali menemukan mantan polisi atau jaksa jadi komisaris atau pengurus perusahaan raksasa, tapi di Indonesia mengapa jamak?

Semua teori ekonomi di seluruh dunia pasti menjawab: karena menguntungkan. Sebab perusahaan adalah agent of profit maximizer. Lugasnya, mengapa perusahaan raksasa Indonesia mempekerjakan PEP? Karena di Indonesia menjadikan mantan pejabat sebagai pengurus perusahaan itu menguntungkan. Itu alasan pendeknya.

Mari kita analisis lebih jauh. Para mantan pejabat ini punya pengaruh dalam pengambilan keputusan. Mereka punya relasi, punya mantan anak buah. Mereka pernah menabur budi, pernah memberi fasilitas. Mereka punya jejaring –kalau tidak, untuk apa perusahaan mempekerjakan mereka? Perusahaan meminjam saldo pengaruh para mantan ini untuk memuluskan operasi mereka.

Guru Besar Ilmu Pengaruh (Influence) di Amerika Serikat Robert Cialdini menyatakan bahwa mereka yang pernah berjasa pada kita lebih mudah mempengaruhi kita daripada yang tidak. Ada puluhan riset yang dikutip Cialdini untuk mempertahankan tesis universal ini. Pendeknya, Anda akan lebih merasa harus membalas jasa pada orang yang pernah memberikan jasa pada Anda. Prinsip ini dikenal sebagai istilah “kesalingan” alias resiprokalitas. Saling bantu membantu. Saling tolong menolong.

Apa yang salah dari tolong menolong? Tak ada yang salah. Tapi, ia jadi masalah kalau yang diperebutkan itu adalah mesin pencetak uang bernama subsidi biodiesel. Saya kutip dari policy brief itu, “Sepanjang tahun 2015 – 2022 total volume biodiesel yang tersalurkan sebesar 42,98 juta kiloliter dengan jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah sekitar Rp 144,59 triliun.”

Bagaimana caranya uang subsidi itu terbagi? Anda bisa bayangkan. Uang Rp 144 triliun itu ditawarkan oleh Kementerian ESDM untuk dibagi-bagi kepada pemilik pabrik biodiesel tanpa lelang. Kalau Anda punya pabrik biodiesel (untuk punya pabrik Anda harus punya uang sekitar Rp 2 – 3 triliun), Anda bisa daftar pada Kementerian ESDM.

ESDM akan meminta Anda untuk menandatangani sebuah “surat kesanggupan” berproduksi sekian juta liter biodiesel tahun ini. Penamaan dan proses formalnya apa dan bagaimana, Anda bisa kesampingkan dulu. Dan, voila! Anda dapat kuota. ESDM akan meminta Anda mengirim produk Anda ke salah satu dari dua puluhan pengguna yang siap memakai produk Anda.

Kalau harganya kemahalan, pemerintah akan menambal kekurangan kas Anda dari pungutan ekspor atau pungutan pajak ekspor (apapun namanya!). Kalau harganya kemurahan, pemerintah tak rugi apa-apa. Lha wong Anda juga tidak rugi apa-apa. Dalam dua kasus itu, everybody wins! Kecuali…rakyat banyak pembayar pajak (atau apapun namanya!).

Dalam analisis ekonomi yang jernih, Anda lihat arus uangnya. Bukan namanya. Siapa membayar apa kepada siapa, apapun nama dan jenisnya. Lihat arus uangnya. Pemerintah memungut uang dari puluhan ribu pemilik kebun kelapa sawit atau pedagang kelapa sawit untuk dibayarkan kepada sekitar dua puluhan pemilik pabrik biodiesel. Itu arus uangnya. Itu inti persoalannya.

Siapa juru bayarnya? Kementerian Keuangan c.q. BPDPKS. Dus, subsidi biodiesel adalah mesin pencetak uang legal paling kolosal di Indonesia. Yang sayangnya, hanya terbagi kepada tidak lebih dari 20 orang. Pertanyaannya, kalau 20 orang boleh punya mesin cetak uang legal, kenapa seluruh rakyat Indonesia tidak?

Singkatnya, Anda punya pabrik biodiesel. Anda punya kuota (alias pasar yang siap menyerap produk Anda). Plus, harga Anda dijamin. Anda tidak mungkin rugi. Karena semuanya sudah diatur. Apa itu kalau bukan mesin pencetak uang yang legal?

Rahmat mengklaim bahwa selisih harga itu tidak pantas disebut subsidi. Begitu pulalah, pejabat yang saya temui dalam audiensi Auriga dan Satyabumi dengan BPDPKS dan juga dihadiri oleh staf perwakilan Kementerian ESDM. Mereka enggan menyebut istilah “subsidi”.

Dalam audiensi itu, saya bersikeras bahwa penutupan selisih harga di dalam terminologi ilmu ekonomi di mana pun, dari Australia sampai Zanzibar, disebut subsidi. Kata ini maknanya teramat terang benderang. Lihat dari bahasa Inggrisnya. Kata kerja “subsidize” punya makna yang disambigu. Ia adalah “support (an organization or activity) financially“. Atau “pay part of the cost of producing (something) to reduce prices for the buyer.”

Di sinilah DPR dan pemerintah bermain drama Orwellian. Mereka bersepakat menolak penggunaan kata subsidi dalam patgulipat biodiesel. Mereka memilih kata-kata bersayap ini, “insentif untuk menutup selisih kurang”.

George Orwell dalam novel disptopianya yang legendaris 1984 mengingatkan bahwa bahasa sering diubah untuk mengaburkan makna sebenarnya. Manipulation of language can be used as a weapon of mind control and abuse of power. Hanya pemerintah otoriter yang bermain drama Orwellian. Pemerintah Indonesia adalah pemerintah demokratis. Kita ini bukan negara otoriter dan tidak berbakat Orwellian.

Kita harus jujur dan apa adanya, walau tidak enak didengar. “Pemerintah dan DPR bersepakat memberikan subsidi sekian triliun kepada 20 pengusaha biodiesel karena harga sawit lagi mahal/murah”. Itu esensinya. Itu pokok persoalannya. Itu jantung benang kusut yang hendak Auriga dan Satya Bumi bongkar.

Di sinilah, kita mulai memahami ruwetnya soal. Perebutan subsidi cum mesin uang adalah perebutan kuasa, pertarungan pengaruh. Anda, sang pengusaha, akan lebih punya pengaruh kalau Anda bersama orang yang (pernah) punya pengaruh, sang (mantan) penguasa. Pembuktian dan perincian argumentasi Auriga dan Satya Bumi ada di policy brief. Tapi inilah inti daripada pokok soalnya.

Sampai sini apa yang masih kurang jelas lagi?

Chandra Natadipurba ekonom yang bertugas di Yayasan Auriga Nusantara, penelaah ‘policy brief’ berjudul ‘Politically Exposed Person’ dalam Jejaring Biodiesel Indonesia yang terbit pada 18 Maret 2024

 

Sumber: Rebutan Mesin Pencetak Uang dalam Industri Biodiesel (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *