Indonesia Menyapa, Jakarta — Ketika Jepang memperingati 79 tahun sejak bom atom dijatuhkan pada akhir PD ke 2,Jepang mengulangi tekad untuk bersikap pasif. Kini di tengah berbagai ancaman kawasan, sikap ini berubah.
Tepat pada hari Selasa (6/8) pukul 8.15 pagi waktu setempat, tepat pada saat bom atom meledak di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, Jepang mengheningkan cipta sejenak guna mengenang kengerian yang mendera kota itu.
Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan kepada para utusan yang berkumpul di Hiroshima bahwa misi Jepang adalah menjelaskan kepada generasi penerus tentang kengerian yang diakibatkan bom atom. Jepang adalah satu-satunya negara di dunia yang pernah menghadapi akibat dari perang nuklir.
“Adalah misi Jepang, satu-satunya negara yang pernah menderita akibat perang nuklir, untuk meneruskan realitas pemboman nuklir kepada generasi masa depan,” jelasnya.
Cara mengalahkan Jepang dalam perang telah mengubah sikap negara itu, yakni bersikap menghindari perang dan mencegah berkuasanya militer selama beberapa generasi. Tetapi beberapa analis mengatakan, sikap itu berubah ketika Jepang dihadapkan pada berbagai ancaman di kawasan. Pakar hubungan internasional di University of Tokyo, Yee Kuang Heng, berbicara pada VOA lewat Skype.
“Program rudal nuklir Korea Utara, sikap agresif militer China, klaim territorial China di Laut Cina Selatan, kerjasama militer Rusia yang lebih erat dengan China dalam beberapa tahun terakhir,” jelasnya.
Ancaman-ancaman ini memicu Jepang tahun lalu untuk melipatgandakan belanja pertahanannya menjadi dua persen dari PDB-nya selambat-lambatnya pada tahun 2027.
Minggu lalu, Amerika, sekutu Jepang paling dekat, mengumumkan peningkatan signifikan fungsi komando militer AS di Jepang.
Tokyo berulang kali minta jaminan dari AS bahwa negara adi daya itu bersedia menggunakan “penangkalan yang diperluas” atau senjata nuklirnya untuk membela Jepang.
Grant Newsham, purnawirawan kolonel marinir AS yang berdinas di Jepang, dan kini menjadi peneliti senior di Center for Security Policy di Washington DC mengatakan, “Mereka selalu meragukan komitmen Amerika untuk menggunakan seluruh kekuatannya guna membela Jepang, termasuk penggunaan senjata nuklir. Jadi di sini kita temui paradoks dari apa yang selama ini kita anggap adalah sikap alergi Jepang terhadap kekuatan nuklir.”
Selama puluhan tahun, kemarahan di kalangan negara-negara jiran Asia terhadap tindakan Jepang dalam Perang Dunia Kedua telah mencegah kerja sama yang lebih erat. Hal itu juga berubah, kata para analis.
“Negara seperti Filipina, baru-baru ini mengikat sebuah persetujuan pertahanan penting dengan Jepang, Reciprocal Access Agreement atau Persetujuan Akses Timbal Balik, negara Asia pertama yang melakukan hal seperti itu dengan Jepang. Korea Selatan, di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Suk Yeol, juga menekankan sebuah hubungan dengan Jepang yang melihat ke masa depan,” imbuh Profesor Yee.
Namun, 79 tahun setelah trauma kekalahan negara itu, yang dilambangkan oleh kehancuran Hiroshima dan Nagasaki, apakah rakyat Jepang siap berperan sebagai kekuatan militer seperti di masa lalu?
Kunihiko Miyake, peneliti dari Canon Institute for Global Sudies di Jepang, mengatakan, “Ada perubahan besar dalam opini publik di negara saya. Kami mungkin lambat, tetapi kami selalu melangkah maju, dan satu langkah ke depan setiap kali. Mungkin kali ini sekaligus dua atau tiga langkah ke depan.”
Menanggapi postur militer Jepang yang berubah, China bulan lalu mengatakan Jepang perlu “secara serius merenungkan kembali sejarah agresinya di masa lalu.”
Analis mengatakan suka atau tidak suka, realitanya adalah Jepang dihadapkan pada berbagai ancaman, salah satunya dan yang terbesar adalah ancaman dari China.