Indonesia Menyapa, Jakarta — Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai berhasil memberikan efek kejut atau shock therapy kepada oligarki dan mafia tambang penghisap sumber daya alam Indonesia.
Efek kejut tersebut juga berhasil diarahkan padapraktik-praktik normalisasi pelanggaran hukum oleh para pemodal besar dalam praktik-praktik bisnisnya selama ini.
Pendapat tersebut disampaikan analis politik dan akademisi FISIP Universitas Udayana, Bali, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, menanggapi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Efatha berpendapat, Prabowo berhasil membawa perubahan mendasar dalam cara negara menegakkan kekuasaan. Ia menyebut, Prabowo telah menciptakan ‘grammar baru kekuasaan’ atau tata bahasa baru dalam hubungan negara dan para pemodal besar.
“Selama ini kita sibuk menghitung berapa triliun aset koruptor yang disita. Padahal, angka-angka itu hanya gejala. Bukan penyakitnya,” kata Efatha dikutip Sabtu (18/10/2025).
Efek Kejut ke Mafia Tambang
Menurutnya, keberhasilan terbesar pemerintahan Prabowo bukan pada besarnya aset sitaan, tapi pada efek kejut (shock therapy) yang membuat para oligarki dan mafia sumber daya kini berhitung ulang.
“Dulu, menambang mineral sacara ilegal atau membabat hutan bukan kejahatan, tapi model bisnis. Sekarang logika itu dibalik total. Negara mengirim pesan tegas, dimana era negosiasi sudah selesai,” beber Efatha.
Efatha menilai keberhasilan ini terjadi karena adanya sinergi nyata antar-lembaga negara yang belum pernah seefektif ini sebelumnya.
“Polri, Kejaksaan, TNI, dan kementerian teknis kini bergerak seperti satu tubuh. Ini bukan sinergi rapat, tapi sinergi lapangan,” ujarnya.
Ia menyebut model ini berhasil karena komando pemerintahan terpusat di Presiden. Ego sektoral berhasil dipatahkan, arah kebijakan menjadi tunggal, dan koordinasi berjalan presisi.
Namun, Efatha mengingatkan agar efektivitas model ini tidak bergantung pada figur tunggal.
“Tantangannya sekarang adalah evolusi dari figur ke sistem. Harus dibuat SOP lintas lembaga yang permanen, diperkuat mekanisme checks and balances, dan ditopang peningkatan kapasitas kelembagaan,” jelasnya.
Efatha menilai Prabowo memahami bahwa melawan mafia ekonomi tidak bisa hanya pakai kacamata hukum pidana.
“Para predator itu bukan kriminal biasa. Mereka adalah criminal enterprise, dimana perusahaan kejahatan dengan dua bahan bakar berupa modal dan waktu,” tegasnya.
Ia menyebut pemerintahan Prabowo kini menjalankan tiga serangan strategis untuk melumpuhkan jaringan ekonomi hitam, melalui amputasi finansial dengan memiskinkan korporasi sejak awal penyidikan.
“Lalu mempercepat proses hukum agar mafia tak sempat menyuap atau mengatur perlawanan dan menghancuran ekosistem gelap dengan membuka data perizinan secara transparan agar publik bisa ikut mengawasi, strategi ini bukan populisme, tapi strategi geopolitik ekonomi. Negara merebut kembali kendali atas sumber daya nasional,” tegasnya.
Efatha menilai pendekatan pemerintahan Prabowo bukan lagi sekadar penegakan hukum, melainkan operasi strategis untuk memenangkan perang ekonomi nasional.
“Selama ini kita sibuk menangkap tikus satu per satu. Pemerintahan ini memilih membakar lumbungnya dan menutup akses airnya. Itu strategi untuk memenangkan peperangan, bukan sekadar menghukum pelaku,” ujarnya.
Menurut Efatha, arah kebijakan setahun era pemerintahan Prabowo menunjukkan pergeseran paradigma besar dalam tata kelola negara.
“Dari hukum yang reaktif ke strategi yang ofensif. Dari sekadar menghukum ke memenangkan sistem dan dari penegakan sektoral ke orkestrasi nasional”, tandasnya.
Tambahnya, kalau model ini bisa dilembagakan, Indonesia akan punya sistem kekuasaan yang bukan hanya menegakkan hukum saja.
“Tapi juga memenangkan peperangan strategis melawan para predator ekonomi yang merusak sendi ekonomi dan politik nasional,” pungkasnya.

