Indonesia Menyapa, Jakarta – Setelah pandemi Covid-19, semua negara sedang berlomba untuk memacu ekonomi pariwisata dengan merayu wisatawan untuk datang berwisata. Kita ingat, sejak pintu wisata Bali dibuka lagi, pada 4 Februari 2022, wisman mulai berdatangan dan kembali mengisi beberapa lokasi yang sempat merana akibat tidak ada tamu. Namun, hingga awal 2023, saat kondisi masih jauh dari kata pulih, Bali tiba-tiba diserang paranoid baru yang bernama overtourism.
Cerita itu diawali dengan ramainya berita tentang bertingkahnya beberapa wisman dengan melakukan aksi-aksi tak senonoh hingga melawan aparat. Maka, dalam tempo hanya setahun sejak keran wisman dibuka, dan kondisi pariwisata belum benar-benar pulih, yang muncul justru anti-wisatawan, yang mengesankan Bali sudah tidak butuh wisatawan lagi.
Perkembangan berikutnya semakin menarik. Pemerintah melalui Imigrasi tiba-tiba menghapus kebijakan bebas visa kunjungan wisata yang diberikan untuk 159 negara sesuai Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.-01.GR.01.07 Tahun 2023 yang berlaku sejak Juni 2023. Jadi melalui kebijakan ini, bebas visa kunjungan hanya diberikan kepada 10 negara yaitu negara-negara anggota ASEAN saja: Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Timor Leste.
Tak hanya itu, Pemprov Bali pun membuat gebrakan baru dengan mewajibkan setiap wisman untuk membayar pungutan wisatawan asing (PWA) sejak 14 Februari 2024. Katanya, pungutan ini bertujuan untuk melindungi seni-budaya, adat, tradisi hingga kearifan lokal masyarakat Bali. Konsekuensi dari kedua kebijakan ini adalah setiap wisman yang datang ke Indonesia harus menerima Visa on Arrival (visa saat kedatangan) dengan membayar Rp 500 ribu per wisatawan. Kemudian wisatawan juga harus membayar pungutan wisatawan asing (PWA) sebesar Rp 150 ribu per wisman yang berkunjung ke Bali.
Seakan tidak cukup, pajak pun ternyata minta bagian juga. Seperti diatur pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), kita sempat dihebohkan dengan kenaikan pajak hiburan yang konon mencapai 40 persen hingga 75 persen, sementara usaha lainnya dikenakan tarif paling tinggi 10 persen, yang membuat kalangan pariwisata juga merasa tertekan berat. Khusus untuk Bali, rencananya sembilan pemerintah kabupaten kota akan menerbitkan kebijakan terkait tarif pajak hiburan tertentu 10 sampai 15 persen.
Jadi jawaban Indonesia begitu terlepas dari pandemi adalah mengambil lebih banyak uang, uang, uang! Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bermaksud untuk menarik iuran untuk dana abadi pariwisata atau Indonesia Tourism Fund yang dipungut dari tiket pesawat. Rencana yang kemudian mendapat penolakan dari berbagai stakeholder pariwisata Tanah Air. Sesuatu yang sangat aneh terjadi karena di satu sisi kita berteriak-teriak agar wisatawan datang dan kita dengan senang hati memunguti iuran dari mereka, tapi di sisi lain kita menolak dengan alasan overtourism.
Akumulasi dari berbagai kebijakan ini kita rasakan dampaknya dengan suramnya jumlah kunjungan wisman ke Indonesia pada 2023. Secara statistik, 2023 lalu kita hanya bisa menarik 11,6 juta wisman. Itu angka yang masih jauh dari angka kunjungan “normal” sebelum Covid-19 atau 2019 yang sebanyak 16,1 juta. Angka 11,6 juta itu jauh dari kesan pemberitaan bahwa “wisman sudah terlalu membludak”. Bahkan untuk mencapai jumlah kunjungan 2019 pun belum, jadi di mana overtourism-nya? Hal ini semakin jelas kalau kita lihat situasi di Bali, ketika kita menemukan jumlah kunjungan ke Pulau Dewata pada 2023 yang sebanyak 5,2 juta masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan kunjungan wisman pada 2019 yang sebanyak 6,3 juta.
Sebagai perbandingan lihat Malaysia dan Thailand. Malaysia pada 2023 sukses menarik 20,1 juta wisman (catatan: angka ini belum termasuk 8,8 juta di antaranya adalah foreign excursionists). Angka ini masih lebih rendah dari jumlah perolehan 2019 yaitu 26,1 juta orang. Sedangkan Thailand berhasil meraih 28 juta wisman pada 2023 dan lagi-lagi masih belum bisa menyamai perolehan 2019 atau sebelum Covid-19 sebanyak 39 juta wisman. Hebatnya Thailand, saat kita bertengkar keras soal overtourism Bali, Negeri Gajah Putih itu bahkan sudah menargetkan 27 juta wisman akan mengunjungi Pattaya saja pada 2024!
Tapi, tunggu dulu, sebenarnya apa sih itu overtourism? Kapankah sebuah destinasi wisata bisa diklaim sudah memasuki masa overtourism atau kelebihan kapasitas dari kemampuan daya dukung yang ada di destinasi? Tidak ada satu definisi yang telah diterima bersama mengenai overtourism. UNWTO menyebut overtourism sebagai the impact of tourism on a destination, or parts thereof, that excessively influences perceived quality of life of citizens and/or quality of visitor experiences in a negative way.
Dari definisi ini, overtourism dapat diukur dari dua sudut yakni penduduk lokal dan dari sudut wisatawan. Bagi warga lokal, dikatakan overtourism manakala pariwisata dianggap sebagai pengganggu yang semakin membebani kehidupan mereka sehari-hari. Bagi wisatawan, overtourism dimaknai ketika banyaknya jumlah wisatawan dianggap sebagai gangguan. Tapi, seperti apa indikator sebuah kondisi sebagai pengganggu masih belum ada ukuran yang pasti.
Belakangan ini kita mendengar aksi protes yang disampaikan masyarakat Canary Islands, Spanyol yang katanya menolak kunjungan wisatawan karena menilai sudah terjadi overtourism di destinasi wisata ini. Canary Islands adalah kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau, luas pulaunya tidak lebih besar dari Pulau Bali, namun jika disatukan tentunya akan lebih luas daripada Bali. Hanya saja, jumlah penduduk di kepulauan ini 2.098.593 jiwa jauh, lebih kecil dibandingkan Bali yang berpenduduk 4.344.554 jiwa.
Berbeda dengan Bali, wisman ke Canary Islands selama tiga bulan pertama 2024, Januari hingga Maret, sebanyak 4,3 juta, sedang Bali hanya 1,3 juta. Keseluruhan untuk 2023 lalu, wisman ke Canary hampir 16 juta, bandingkan dengan Bali 5,2 juta. Kunjungan yang semakin meningkat ke Canary pada tiga bulan pertama 2024 itu menunjukkan kunjungan wisatawan tidak merosot meski diwarnai protes masyarakat.
Perlu kita garis bawahi, protes masyarakat lokal ini bukan ditujukan kepada wisatawan, tapi kepada pemerintah yang menciptakan sistem yang terlalu memihak investor namun mengorbankan masyarakat lokal yang makin terhimpit karena gaji kecil dan sewa apartemen hingga kebutuhan pangan yang terus naik. Mereka menyaksikan semakin banyak hotel resor dibangun dan keuntungan tidak dibagikan secara adil kepada penduduk setempat. Meskipun ada kisah tentang lingkungan hidup yang disebut-sebut dalam isu overtourism, namun agaknya urusan kesenjangan ekonomi dan sosial yang dialami masyarakat lokal jauh lebih mengemuka.
Dalam konteks ini, pertama, Bali juga harus mencermati perkembangan di Canary Islands, di mana isu utamanya sebenarnya menurut saya bukan overtourism tapi keberpihakan kepada masyarakat lokal di destinasi wisata. Menjadi tugas pemerintah dan kita juga untuk tidak mengabaikan aspirasi masyarakat ini.
Kedua, karena angka kunjungan kita masih belum benar-benar pulih seperti pada 2019, saya minta pemerintah untuk meninjau kembali penghapusan kebijakan bebas visa kunjungan itu. Betul, prinsip resiprokal itu penting, dan kita tidak meminta dikembalikan untuk 159 negara seperti semula, tapi ada baiknya diberikan kelonggaran untuk beberapa negara yang secara langsung menyumbang lebih banyak wisatawan ke Indonesia.
Ketiga, mengenai riuhnya wacana penarikan iuran kepada wisatawan, sebaiknya untuk sementara ini agar dihindari dulu untuk menambah beban masyarakat maupun wisman.
Di tengah kebijakan untuk wisatawan di negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang lebih terbuka dan memudahkan bagi wisatawan, termasuk dalam urusan visa, kita juga harusnya tetap memberikan kebijakan pro-wisatawan. Minimal seperti Vietnam yang tetap memberikan bebas visa untuk 13 negara. Jika tidak, saya rasa wajar jika kita akan makin tertinggal dalam meraih lebih banyak wisman dibandingkan negara-negara tetangga kita itu.
Saya kembali lagi ke pertanyaan awal: betulkah telah terjadi overtourism di Bali? Menurut saya masih jauh. Tapi kita ingatkan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di destinasi wisata harus menjadi prioritas yang tercermin dalam setiap kebijakan pariwisata kita.
Jones Sirait mantan wartawan, pengamat pariwisata
Sumber: Overtourism Bali? (detik.com)