Indonesia Menyapa, Jakarta — Pagar laut sepanjang 30 kilometer di wilayah perairan Tangerang yang dalam beberapa minggu terakhir menyebabkan kegaduhan di ruang publik, telah resmi dibongkar oleh Pemerintah. Hal yang tentu memberikan pesan penting bahwa praktik pemagaran laut ini melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan seluruh jajaran pemerintah berada dalam perahu yang sama untuk tidak memberikan ruang bagi praktik illegal tersebut.
Beberapa persoalan yang terjadi terkait dengan pengelolaan ruang laut sejatinya menjadi momentum yang baik untuk penguatan pengelolaan ruang laut khususnya yang terkait dengan implementasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan kolaborasi dalam pengelolaan ruang laut.
Jika melihat lebih detail lagi persoalan pemagaran laut di perairan Tangerang, sejatinya berbagai upaya dan langkah konkrit telah dilakukan oleh Pemerintah. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah merespon permasalahan pemagaran laut di Tangerang ini sejak September 2024 melalui pengumpulan bahan dan keterangan di lokasi, juga diskusi publik yang kemudian membuka persoalan ini secara terang benderang kepada masyarakat pada awal Januari lalu.
Langkah penyegelan sampai dengan pembongkaran yang kemudian dilakukan oleh aparat gabungan tentu saja mempertegas standing point bahwa pemagaran laut ini merupakan tindakan melanggar aturan, merusak keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan, mengubah fungsi ruang laut, dan privatisasi yang mengganggu akses publik.
Pemagaran laut ini juga bukan merupakan kegiatan utama dalam pemanfaatan ruang laut. Kegiatan utama pemanfaatan ruang laut seperti: wisata bahari, budidaya laut, perikanan tangkap dan kepelabuhanan.
Pemagaran laut ini sendiri lebih banyak terkait dengan pengkavlingan laut untuk dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanah di atas laut. Pemagaran ini juga upaya untuk memajukan garis pantai sampai dengan batas pagar, tujuannya tentu agar masuk dalam rezim ruang darat dan tidak perlu mengurus perizinan rezim laut.
Dalam perspektif ini, tentu kita sepakat bahwa pemagaran laut ini tidak sejalan dengan konsepsi dasar pengelolaan laut yang berkelanjutan baik secara nasional maupun internasional sebagaimana juga diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Esensi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada Pasal 18 angka 12 telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Pemerintah Pusat.
Dalam konteks ini KKPRL merupakan dokumen kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan Rencana Tata Ruang (RTR) dan/atau Rencana Zonasi (RZ). KKPRL juga merupakan persyaratan dasar yang wajib dimiliki oleh pelaku kegiatan pemanfaatan ruang laut secara menetap paling singkat 30 hari di wilayah perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi untuk kegiatan berusaha maupun non berusaha.
Dalam upaya mewujudkan pengelolaan ruang laut yang berkelanjutan, KKPRL tentu bukan sekedar legalitas formal bagi segala aktivitas pemanfaatan ruang laut. KKPRL merupakan upaya untuk melindungi ekosistem laut dan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ruang laut dengan aspek ekologi, sosial maupun ekonomi. KKPRL juga
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dari berbagai aktivitas pemanfaatan ruang laut yang berpotensi menyebabkan terganggunya kepentingan publik atas ruang laut. Selain itu, dengan banyaknya pemangku kepentingan pemanfaatan ruang laut, KKPRL menjadi instrumen penting untuk mencegah konflik pemanfaatan ruang laut.
Pentingnya Kolaborasi Pengelolaan Ruang Laut
Sebagai milik bersama (common property) tentu saja tata kelola ruang laut harus dibangun dengan mengedepankan sinergi dan kolaborasi. Menurut Manafi, dkk (2024), kolaborasi tersebut setidaknya mencakup 6 (enam) bentuk dasar. Pertama, kolaborasi harapan yang membawa kita semua dalam spirit mengelola laut secara berkelanjutan (sustainability), dan berdaulat (sovereignty) untuk kesejahteraan (prosperity) masyarakat. Kedua, kolaborasi kepentingan yang menjadi wadah bagi bertemunya
kepentingan pengelolaan laut dari perspektif internasional, nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Ketiga, Kolaborasi aturan yang menjadikan pengelolaan ruang laut sebagai instrumen penegakan aturan perwilayahan, baik yang terkait dengan aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, maupun perlindungannya. Keempat, Kolaborasi fungsi yang mengedepankan pengelolaan laut sebagai wadah terselenggaranya fungsi ekologi, ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan secara bersamaan.
Kelima, kolaborasi urusan yang menitikberatkan pengelolaan ruang laut sebagai wadah terselenggaranya urusan kelautan dan perikanan, pariwisata, energi dan sumber daya mineral, kehutanan, pangan, koperasi, usaha kecil, dan menengah, perindustrian, penanaman modal, tenaga kerja, lingkungan hidup, kebudayaan, pemberdayaan masyarakat dan desa, perhubungan, pekerjaan umum, dan penataan ruang, politik luar negeri, pertahanan, dan keamanan secara bersamaan. Keenam, kolaborasi pelaku yang memberikan ruang dan peran pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.
Kolaborasi tersebut tentu ditunggu untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah dalam pengelolaan ruang laut. Faktanya pemagaran laut ini bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi. Terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di lokasi pemagaran tentu menjadi sinyalemen pentingnya kolaborasi dalam perencanaan tata ruang. Secara sederhana, pemagaran laut tersebut adalah upaya awal untuk melaksanakan reklamasi di wilayah perairan Tangerang tersebut.
Dalam konteks ini, penting untuk mengintegrasikan penyelenggaraan rencana ruang laut dan pemanfaatannya pada berbagai level dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), termasuk juga dengan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang jelas, sehingga pemanfaatan ruang laut sesuai dengan peruntukannya dan menghindari konflik kepentingan.
Kolaborasi dalam pengawasan pemanfaatan ruang laut tentu juga menjadi sangat penting melihat luasnya wilayah dan beragamnya obyek pengawasan ruang laut. Melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi telah mendapatkan mandat untuk melaksanakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan 12 mil laut. Salah satu pembelajaran penting dalam permasalahan pemagaran laut ini adalah pentingnya peran pengawasan oleh Pemerintah Daerah serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengelolaan ruang laut.
Tentu saja, persoalan pemagaran laut di perairan Tangerang ini bukan satu-satunya tantangan yang akan dihadapi dalam upaya mewujudkan pengelolaan ruang laut yang berkelanjutan. Sejumlah persoalan lain terkait pemanfaatan ruang laut juga telah menunggu, namun dengan sinergi dan kolaborasi yang baik antar pemangku kepentingan, saya meyakini bahwa ruang laut adalah pertemuan antara harapan bagi keberlanjutan, kedaulatan dan kesejahteraan.
Salam Nusantara Lestari Jaya.
Didik Agus Suwarsono, Peraih Australian Awards pada Program Doctor of Philosophy (Ph.D) di University of South Australia, dan Senior Analis Pusat Kajian dan Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Pusaran KP)
Sumber: Menjaga Ruang Laut Indonesia