Indonesia Menyapa, Jakarta — Kamis malam, pukul 22.00 kurang seprapat, Eta –sekretaris sebuah korporasi lokal yang memiliki anak-anak perusahaan di sejumlah kota– sudah siap-siap menuju tempat pembaringan. Tapi, tiba-tiba notifikasi pesan layanan Whatsapp di ponsel pintarnya yang buatan Tiongkok itu berbunyi nyaring. Segera ia membukanya. Deg, sebuah pesan masuk dari big bos.
“Selamat malam, Ta. Proposal yang tadi siang dibahas di rapat, coba kamu cek lagi. Terus kamu kirim malam ini juga ke Bu Dewi ya. Biar besok pagi bisa segera di-follow up. Sekalian informasikan di group, besok pagi ada briefing lagi, khusus buat tim sales dan promosi. Thank you.” Begitu antara lain bunyi pesannya.
Ampun dah, batin Eta. Ingin rasanya langsung membanting ponselnya. Waktunya tidur, masih harus ngurus kerjaan kantor. Nasib, oh, nasib!
Apa yang dialami Eta mungkin juga pernah dialami oleh sebagian pekerja lainnya. Mungkin pula termasuk kalian yang mendaku sebagai budak korporasi. Harap maklum. Kemajuan teknologi digital saat ini, yang menjadikan kita sebagai homo digitalis, telah membuat kita semua terkoneksi. Kita dengan gampangnya terhubung satu sama lain.
Dalam konteks pekerjaan, pada zaman ketika internet dan ponsel pintar belum lahir, batas waktu antara jam kantor dan jam pribadi bisa dibilang sangat jelas. Dulu, persinggungan kita dengan urusan pekerjaan di kantor hanyalah sebatas jam kantor. Tapi, sekarang dengan keberadaan ponsel pintar dan internet, segalanya berubah. Urusan kerjaan kantor dapat saja terbawa-bawa sampai rumah, seperti yang dialami Eta dalam ilustrasi di atas.
Apa mau dikata. Di balik segala kemudahan yang dilahirkan teknologi, muncul pula berbagai persoalan. Dan, salah satu tugas kita adalah bagaimana mengatasi persoalan-persoalan yang muncul imbas dari kemajuan teknologi itu.
Perlu Dicarikan Solusi
Tentu saja, apa yang dihadapi Eta, yang masih harus mengurus pekerjaan kantor di luar jam kerja ,adalah persoalan yang perlu dicarikan solusinya. Bagaimanapun, pekerja bukan robot yang mampu bekerja full 24 jam nonstop. Manusia perlu istirahat. Perlu juga healing.
Idealnya, urusan kantor mestinya diselesaikan pada jam kantor. Sebaliknya, urusan personal, ya dikerjakan di luar jam kantor. Nah, agar ini bisa berjalan baik, tidak saling tabrakan atau tumpang tindih, maka di sejumlah negara di Barat sejak beberapa waktu lalu telah muncul apa yang diistilahkan sebagai hak diskoneksi. Apa itu?
Hak diskoneksi atau hak tidak terhubung pertama kali diperkenalkan di Prancis pada 2016. Saat itu, negara Menara Eiffel itu meluncurkan undang-undang ketenagakerjaan anyar. Di dalamnya mencakup ketentuan yang mengatur soal jam kerja dan perlindungan waktu pribadi karyawan.
Salah satu aspek yang mencolok dari undang-undang ketenagakerjaan di Prancis itu adalah ketentuan yang mengakui hak untuk tidak terhubung bagi karyawan. Ketentuan itu mengatur soal perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan untuk bernegosiasi atau membuat kesepakatan dengan para pekerjanya mengenai penggunaan perangkat digital di luar jam kerja normal. Tujuannya untuk memastikan bahwa karyawan memiliki hak untuk tidak terhubung dari komunikasi apa pun terkait pekerjaan selama waktu istirahat mereka.
Dimulai dari Prancis, pengakuan hak untuk tidak terhubung ini lantas menggelinding ke sejumlah negara lainnya. Buntutnya, beberapa negara mulai memasukkannya dalam regulasi formal ketenagakerjaan.
Pada 2018, Belgia mulai ikut menerapkan hak untuk tidak terhubung bagi para pegawai pemerintahnya. Dan, sejak 2023, aturan yang mengatur hak untuk tidak terhubung ini diperluas pula ke sektor swasta juga. Menurut regulasi ketenagakerjaan Belgia, perusahaan dengan 20 karyawan atau lebih harus memasukkan hak untuk tidak terhubung dalam perjanjian perburuhan kolektif mereka. Ini berlaku bagi semua kategori karyawan.
Negara lain di Eropa yang mengadopsi undang-undang yang mengatur soal hak untuk tidak terhubung adalah Spanyol. Negeri Matador itu pada 2021 memberikan hak kebebasan kepada karyawan untuk tidak merespons komunikasi terkait urusan pekerjaan.
Di luar Eropa, Kanada (negara bagian Ontario), dan Australia (negara bagian Queensland) telah pula memiliki kebijakan terkait hak untuk tidak terhubung ini.
Semakin Dianggap Penting
Secara universal, hak untuk tidak terhubung memang belum secara eksplisit diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia dasar dalam konsep hukum hak asasi manusia internasional, seperti yang diuraikan dalam dokumen-dokumen seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau berbagai traktat dan konvensi internasional lainnya.
Kendati begitu, hak ini tampaknya perlu semakin dianggap sebagai komponen penting dari hak-hak pekerja dan kesejahteraan pekerja pada era digital saat ini. Pasalnya, hak untuk tidak terhubung selaras dengan prinsip-prinsip yang lebih luas yang terkait dengan keseimbangan antara kehidupan kerja, privasi, dan hak untuk menikmati waktu luang, yang diakui dalam instrumen hak asasi manusia secara universal.
Agar tidak ketinggalan zaman dan tidak ketinggalan kereta, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia tercinta agaknya perlu pula mulai mengadopsi aturan terkait hak untuk tidak terhubung ini. Dengan begitu, kasus seperti yang dihadapi Eta yang masih harus mengurus kerjaan kantor padahal ia sudah saatnya pergi tidur tidak seharusnya sampai terjadi.
Djoko Subinarto penulis lepas
Sumber: Budak Korporasi dan Hak untuk Tidak Terhubung (detik.com)