Anies Baswedan dan Glorifikasi Kegagalan

Indonesia Menyapa, Jakarta — Walaupun Anies Baswedan sudah pernah maju dalam pilkada dan terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2017, bahkan juga berhasil maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024, tetapi ternyata ia gagal untuk sekadar maju kembali menjadi calon gubernur dalam Pilkada DK Jakarta 2024. Tidak ada satu pun partai politik yang bertahan menyatakan memberikan dukungan sampai menjelang akhir pendaftaran ke KPU.

Partai-partai yang sebelumnya mengusungnya dalam pilpres yang jadi tumpuan harapan pun “balik kanan” dan malah mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Partai Gerindra yang dalam Pilkada 2017 dulu menjadi pengusung utama tentu saja “tak mungkin” mendukungnya mengingat Anies tak hanya pernah menjadi rival Prabowo dalam Pilpres 2024, tetapi juga telah “menorehkan luka” dengan memberikan angka 11 pada prestasi Menhan Prabowo dalam debat capres. PDIP yang sempat didatangi Anies dan menjadi harapan alternatif pun ternyata kemudian mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno yang keduanya merupakan kader sendiri.

Kegagalan Anies ini kemudian diglorifikasi terutama oleh para pendukungnya sebagai akibat dari upaya penjegalan yang dilakukan oleh rezim penguasa melalui partai-partai politik. Menurut mereka, Anies ditakuti karena berpotensi besar menang dalam Pilkada Jakarta, dan kemenangannya akan membuatnya memiliki panggung selama lima tahun ke depan dan bisa menjadi capres kuat dalam Pemilu 2029. Itu berarti ia akan menjadi penantang kuat bagi Prabowo yang kemungkinan besar perlu maju kembali menjadi presiden untuk periode kedua. Masih banyak lagi pernyataan lain yang bahkan bernuansa melankolis akibat kegagalan Anies kali ini.

Mengatakan bahwa Anies tidak bisa maju menjadi cagub karena murni rekayasa pihak yang kini sedang berkuasa sesungguhnya adalah kekeliruan fatal. Bahwa ada usaha-usaha untuk menggagalkan Anies maju dalam pilkada, memang benar. Dan, dalam politik itu tentu sangat wajar dan biasa saja. Namun, kegagalan Anies maju dalam Pilkada Jakarta 2024 sesungguhnya murni disebabkan oleh ketidaksiapan Anies untuk memenuhi syarat sebagai calon gubernur. Sebab, walaupun partai-partai tidak memberikan dukungan, masih ada jalur independen yang mestinya bisa dilaluinya.

Jalur independen ini memang disediakan untuk siapa pun yang memiliki keinginan untuk maju, tetapi tidak mau melalui partai politik atau tidak mendapatkan dukungan partai politik. Dengan demikian, tidak ada satu pun warga negara yang kehilangan hak politik untuk maju menjadi calon dalam pilkada. Di Pilkada Jakarta kali ini, Dharma Pongrekun melakukannya. Bahwa ia diduga oleh sebagian pihak maju karena sebuah rekayasa politik, itu lain persoalan.

Pernyataan Geisz Khalifah, orang yang dikenal sangat dekat dengan Anies, bahwa Anies tidak mempersiapkan diri dengan jalur independen karena menghargai partai-partai politik, juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Sebab, itu adalah kalkulasi politik yang disebabkan oleh kepercayaan diri Anies bahwa partai-partai yang sebelumnya mendukungnya dalam Pilpres akan mendukungnya dalam Pilkada DKJ.

Sedangkan, partai-partai juga berhak berkalkulasi untuk masa depan mereka sendiri, terutama dalam lima tahun ke depan. Mencalonkan Anies mungkin akan mendatangkan kemenangan, tetapi skalanya hanya lokal Jakarta saja ditambah dengan pemberitaan. Namun, bergabung dengan rezim akan mendatangkan keuntungan riil yang berskala nasional. Sebab, partai-partai yang tidak memiliki cantolan kekuasaan eksekutif mengalami kesulitan untuk bertahan, kecuali benar-benar memiliki kekuatan untuk menjadi oposan dengan sepenuh keseriusan. Dan, yang pernah mampu melakukan itu hanya PDIP.

Nasib Serupa

Sebenarnya, tidak sedikit politisi yang mengalami nasib serupa dengan Anies Baswedan. Namun mereka menganggap bahwa ini adalah dinamika politik yang sangat biasa terjadi. Sebab, di dalam politik, kolaborasi maupun konfrontasi adalah sesuatu yang lumrah. Jabatan politik puncak hanya ada satu saja dan diperebutkan oleh banyak pihak.

Karena itu, para pihak akan berusaha untuk menghadang lawan-lawan politik yang potensial menang, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Terutama oleh para elite partai politik yang di antara tujuan mereka mendirikan atau aktif di dalam partai politik adalah agar memenuhi di antara persyaratan terberat dalam meraih jabatan politik. Atau, sebaliknya memberikan atau bahkan memfasilitasi jalan bagi calon yang diperkirakan tidak akan menang untuk memecah suara, atau mencegah terjadinya kotak kosong.

Di antara politisi yang mengalami kasus hampir sama dengan Anies dalam Pilkada Jakarta 2024 ini adalah Dico Ganinduto yang saat ini masih menjabat sebagai Bupati Kendal. Awalnya, Dico ingin maju sebagai Gubernur Jawa Tengah. Gambarnya, lengkap dengan slogan politiknya, sudah tersebar sampai ke pelosok-pelosok Jawa Tengah. Namun, karena tidak berhasil mendapatkan dukungan dari partai-partai, ia menurunkan target politik menjadi Wali Kota Semarang. Tiba-tiba muncul lagi baliho-baliho di banyak titik di Kota Semarang yang menunjukkan bahwa Dico akan maju menjadi Wali Kota Semarang.

Namun, hal yang sama terjadi. Dia tidak mendapatkan dukungan partai politik untuk maju. Bahkan ketika ingin kembali maju sebagai Bupati Kendal, dia sama sekali tidak mendapatkan dukungan partai politik. Pun partainya sendiri tidak memberikan dukungan kepadanya. Bisa dikatakan sangat tragis, karena seorang petahana yang awalnya sudah memiliki ekspektasi besar untuk menjadi gubernur, kemudian turun menjadi wali kota, tetapi untuk mencalonkan diri lagi di kabupaten yang sebelumnya telah dipimpin dan membuatnya paling populer, justru tidak mendapatkan “tiket”.

Tapi itu adalah sebuah realitas politik yang sangat mudah dipahami. Sebab, dia memang bukan penentu kebijakan partai politik. Dulu, pada Pilgub Jateng 2013 juga ada Bibit Waluyo yang tidak mendapat tiket dari partai yang pada periode sebelumnya telah memberikan dukungan. PDIP lebih memilih Ganjar Pranowo yang merupakan kadernya sendiri untuk maju. Bibit maju dengan dukungan partai lain, walaupun akhirnya kalah. Bibit dianggap tidak menghargai PDIP karena mencari dukungan dari partai lain tanpa pamit sama sekali kepada partai moncong putih itu.

Jadi, dukung mendukung kepada, atau sebaliknya tarik menarik dukungan dari, calon tertentu, dalam proses pemilu adalah sesuatu yang sangat biasa. Sebab, di dalamnya ada kalkulasi-kalkulasi politik di kalangan elite yang sungguh sangat dinamis. Dan, kadang itu terjadi sampai pada limit mendekati batas akhir masa pendaftaran ke KPU dilakukan.

Tudingan bahwa partai politik yang tidak jadi mendukung Anies tersandera juga bukan tidak mungkin. Namun, motivasi untuk ikut ke dalam gerbong Prabowo-Gibran dalam pemerintahan lima tahun ke depan tampaknya lebih menarik. Sebab, jika pun menang dalam Pilkada Jakarta, untuk lima tahun ke depan, partai politik pendukung tidak memiliki manfaat signifikan dalam level nasional.

Berbeda jika mereka bergabung ke dalam kabinet Prabowo, ada banyak keuntungan politik yang bisa didapatkan selama lima tahun mendatang. Apalagi Anies sama sekali bukan kader partai politik yang perlu untuk didukung mati-matian. Bisa saja, Anis meninggalkan partai politik yang kini mendukungnya, seperti dia kemudian juga “meninggalkan” Partai Gerindra, dan bahkan kemudian menjadi rival Prabowo.

Penarikan dukungan kepada Anies juga pernah terjadi sebelum Anies mendapatkan tiket untuk maju sebagai capres. Saat itu, Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat. Tentu saja Partai Demokrat ingin Anies berpasangan dengan AHY. Namun, karena Anies tidak bisa menolak “langkah kuda” Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang memasangkannya dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, maka Partai Demokrat kemudian mengalihkan dukungan kepada Prabowo. Itu wajar-wajar saja. Bahkan yang sesungguhnya tidak wajar adalah dulu meski menjadi peserta konvensi Partai Demokrat, Anies menolak menjadi juru kampanye Partai Demokrat.

Kekanak-Kanakan

Pihak yang mengglorifikasi kegagalan Anies karena kekuatan politik tertentu sesungguhnya bersikap berlebihan, bahkan kekanak-kanakan. Jika melihat kegagalan Anies dalam Pilkada Jakarta 2024 secara komprehensif, bahkan akan tampak bahwa itu disebabkan oleh Anies sendiri, yaitu; pertama, Anies tidak pernah melakukan kerja politik untuk membangun institusi politik yang memiliki fungsi rekrutmen politik. Institusi ini tentu saja adalah partai politik.

Sejak dulu, Anies hanya masuk ke dalam institusi non politik mulai dari LSM sampai kampus, lalu menggunakan isu-isu tertentu untuk membangun popularitas sesaat, seperti Gerakan Indonesia Mengajar –yang sekadar meniru sebuah gerakan yang ada di Amerika. Dengan cara ini, dia cukup berhasil, sehingga namanya masuk dalam konvensi Partai Demokrat dan kemudian sampai jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era awal kepresidenan Jokowi. Karena tidak memiliki dukungan partai politik, maka mudah saja Jokowi mencopotnya.

Namun, karena sebuah momentum politik, Anies mendapatkan “keberuntungan” karena dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap Jokowi saat itu, sehingga akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ibaratnya, Anies adalah seorang gadis yang mampu berdandan dengan cantik, sehingga menarik perhatian pengendara motor yang sedang jomblo dan memerlukan pasangan atau minimal teman yang membuatnya terlihat tidak jomblo.

Dengan pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta selama satu periode penuh, jika Anies benar-benar telah melakukan kerja politik dengan benar, Anies tidak akan gagal maju menjadi calon Gubernur Jakarta dalam Pilkada 2024. Sebab, sekali lagi, selain melalui jalur dukungan partai politik, siapa pun bisa maju melalui jalur independen.

Mestinya, sebagai politikus yang tidak merupakan kader partai mana pun, Anies mempersiapkan diri dengan persyaratan-persyaratan yang memungkinkannya untuk tetap maju tanpa dukungan partai politik. Ibarat seorang gadis yang walaupun sudah berdandan sangat menarik, tetapi ternyata pengendara sepeda motor mendapatkan tawaran pasangan yang lebih menarik, maka ia harus rela gagal mendapatkan tumpangan, dan harus melakukan perjalanan sendirian.

Kedua, Anies tidak memberikan “balas budi” kepada institusi politik yang telah berjasa mengantarkan dirinya mendapatkan jabatan politik. Dalam konteks DKI Jakarta kala itu, Partai Gerindra berjasa besar mengantarkan dirinya berhasil menjadi gubernur. Tentu saja harapan Partai Gerindra dan Prabowo khususnya, dia menjadi pendukung Prabowo saat menjadi calon presiden.

Namun, dalam debat capres yang lalu, Anies justru mengeluarkan pernyataan yang “keterlaluan” dengan memberikan nilai hanya 11 dari 100 kepada Prabowo, yang bagi para pendukung Prabowo dan bahkan tampak dari beberapa kali pernyataan Prabowo sendiri, itu lebih merupakan penghinaan. Ibarat pepatah, Anies adalah kacang yang lupa kulitnya demi mengejar ambisinya. Sudah menjadi hukum besi, politik adalah ‘take and give’, tidak bisa hanya ‘take and take’.

Ketiga, Anies terlalu percaya diri bahwa keberhasilannya menjadi capres dalam Pilpres 2024 akan membuatnya mudah menjadi calon gubernur dengan dukungan partai politik. Terlalu percaya diri ini menyebabkan Anies tidak mempersiapkan rencana alternatif jika dia tidak dicalonkan oleh partai politik. Dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi, yang diperlukan Anies sesungguhnya hanya tiket untuk bisa menjadi calon. Jika sudah menjadi calon, kemungkinan besar untuk menang bagi Anies masih sangat besar.

Anies Baswedan perlu meneladani beberapa tokoh politik yang walaupun harus berdarah-darah mau membangun partai politik atau minimal masuk partai politik. Logikanya sama dengan kesediaannya masuk ke dalam pemerintahan, yaitu jika tidak bisa mengubah dari luar, maka ubahlah dari dalam. Jika merasa tidak mungkin melakukan perubahan partai politik yang sudah ada, maka jalan yang harus ditempuh adalah membangun partai politik baru. Itulah yang dilakukan oleh Prabowo, Wiranto, Anas Urbaningrum, bahkan juga Amien Rais.

Prabowo karena ingin memperjuangkan visi politik dan terutama ingin menjadi presiden yang dianggapnya sebagai sarana mewujudkan visinya itu, membangun Partai Gerindra, karena kalah dalam konvensi Partai Golkar. Padahal pada saat itu Prabowo tidak berada dalam posisi puncak dalam aspek popularitas. Namun, Prabowo melakukan usaha rintisan yang luar biasa, dan awalnya bahkan hanya bisa maju sebagai cawapres mendampingi Megawati dalam Pemilu 2009.

Wiranto yang mengalahkan Prabowo dalam konvensi Partai Golkar, kemudian juga mendirikan Partai Hanura. Berkebalikan dengan Partai Gerindra yang makin besar, Partai Hanura yang awalnya masuk DPR, dalam dua Pemilu terakhir tersingkir. Anas Urbaningrum dan Gede Pasek Suardika mendirikan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan memimpinnya secara langsung setelah keluar dari penjara.

Anis Matta dan Fahri Hamzah mendirikan Partai Gelora setelah tidak sejalan dengan mayoritas elite PKS. Amien Rais bahkan dua kali mendirikan partai politik. Pada era Reformasi saat popularitasnya berada di puncak, ia mendirikan PAN. Namun, setelah kalah oleh kubu Zulkifli Hasan dalam kongres di Palu dan merasa tidak leluasa menjadikan PAN sebagai kendaraan politiknya, ia mendirikan Partai Umat walaupun pasti ia tahu bahwa saat itu bukan momentum yang tepat mendirikan partai politik.

Kini, keberanian Anies ditunggu dalam mendirikan dan memimpin partai politik, agar di masa depan ia memiliki kemandirian dalam menentukan langkah politik. Jika kemampuan dan keberanian tidak cukup, maka jika masih akan menjalani “karier politik” untuk merebut posisi tertinggi di Republik untuk melakukan perubahan besar-besaran, tinggal pilih salah satu partai politik yang cocok. Lalu mempengaruhi seluruh politisi yang ada di dalamnya agar sesuai dengan visinya. Pertanyaannya, elite partai politik mana yang mau?

Dr. Mohammad Nasih, M.Si pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ, pengasuh Pesantren Planet NUFO Rembang, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang

 

Sumber: Anies Baswedan dan Glorifikasi Kegagalan (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *