Indonesia Menyapa, Jakarta — Majelis Umum PBB pada hari Rabu (30/10) dengan suara mayoritas memutuskan untuk mengutuk embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Kuba yang telah berlangsung selama 32 tahun.
Majelis mengambil keputusan itu setelah Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodríguez mengkritik keras pemerintahan Biden, dan menyampaikan harapannya akan ada presiden baru yang mengakhiri embargo tersebut.
Hasil pemungutan suara di badan dunia yang beranggotakan 193 negara itu membuahkan hasil 187 berbanding dua, dengan hanya Amerika Serikat dan Israel yang menentang resolusi tersebut, dan satu abstain. Dukungan ini menyamai rekor dukungan untuk negara Karibia tersebut, yang pertama kali dicapai pada tahun 2019 dan juga dicapai pada tahun lalu.
Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodríguez menyalahkan “kebijakan tekanan maksimum” pemerintah AS yang bertujuan menyulitkan Kuba mengimpor bahan bakar yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi padamnya listrik yang meluas bulan ini, termasuk ketika Badai Oscar mulai menerjang pulau tersebut.
“Penyebab utama kegagalan sistem kelistrikan nasional adalah kekurangan bahan bakar, yang berpengaruh pada produksi listrik dan menyebabkan ketidakstabilan terkait dengan kondisi genting pembangkit-pembangkit listrik kami,” kata Rodríguez.
“Keduanya merupakan konsekuensi langsung dari tindakan perang ekonomi ekstrem yang diterapkan pemerintah AS sejak 2019,” tambahnya.
Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil
Pembangkit-pembangkit listrik di Kuba terutama bergantung pada bahan bakar fosil. Lebih dari 80% listrik yang diproduksi negara itu berasal dari bahan bakar tersebut. Kuba mengimpor sebagian besar bahan bakarnya, namun para pemasok utamanya telah mengurangi ekspor ke negara itu karena kebijakan embargo AS.
Resolusi-resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum, namun mencerminkan opini dunia, dan pemungutan suara tersebut telah memberikan Kuba “panggung tahunan” untuk menunjukkan bahwa AS merupakan satu-satunya pihak yang selama puluhan tahun mengisolasi negara Karibia tersebut.
Embargo diberlakukan pada tahun 1960 setelah revolusi yang dipimpin oleh Fidel Castro dan nasionalisasi properti milik warga negara dan perusahaan AS. Dua tahun kemudian, embargo itu diperkokoh.
Pasang Surut Hubungan AS-Kuba
Presiden Kuba Raul Castro dan Presiden Barack Obama secara resmi memulihkan hubungan pada bulan Juli 2016, dan pada tahun itu, AS abstain dalam resolusi tersebut, dan menyerukan diakhirinya embargo untuk pertama kalinya.
Namun penerus Obama, Donald Trump, dengan tajam mengkritik catatan HAM Kuba, dan pada tahun 2017, AS kembali memberikan suara menentang resolusi tersebut, dan hal tersebut terus berlanjut sejak saat itu.
Sehubungan dengan pemilu presiden AS yang akan digelar minggu depan, menteri Kuba tersebut mengatakan pemenangnya akan memiliki kesempatan untuk memutuskan apakah akan melanjutkan “tindakan pengekangan yang tidak manusiawi dalam enam dekade terakhir ini” atau memenuhi keinginan semakin banyak orang Amerika dan sebagian besar negara di dunia “dan membiarkan kita mengembangkan potensi dan kemampuan yang sebenarnya.”
Sumber: Majelis Umum PBB Kutuk Embargo Ekonomi AS terhadap Kuba