Indonesia Menyapa, Jakarta — Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana memperpanjang program stimulus restrukturisasi kredit dampak Pandemi Covid-19. sampai 2025.
Perlu diketahui, kebijakan stimulus ini diberlakukan pemerintah mulai Maret 2020 dan sudah selesai pada 31 Maret 2024 lalu. Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghentikan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 pada 31 Maret 2024. Berakhirnya kebijakan tersebut konsisten dengan pencabutan status pandemi Covid-19 oleh Pemerintah pada Juni 2023.
Diketahui, stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan merupakan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.
Satu alasan OJK menghentikan program restrukturisasi adalah karena industri perbankan dinilai memiliki daya tahan kuat dalam menghadapi dinamika perekonomian. Hal tersebut dengan melihat tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik.
Lantas jika benar-benar diperpanjang, akankah ini menjadi angin segar bagi perbankan RI?
Jika melihat data historis, restrukturisasi kredit dalam kurun waktu empat tahun terakhir sebenarnya telah terbukti efektif untuk mempertahankan kualitas aset perbankan. Seperti tercermin pada non performing loan (NPL) industri perbankan yang terbukti turun dari 2,77% pada Maret 2020 menjadi 2,25% pada Maret 2024.
Sayangnya, dari data di atas terlihat bahwa penurunan NPL secara industri tidak menyeluruh. Ada satu segmen yang masih mencatat kenaikan NPL, yakni UMKM.
Tabel di atas menunjukkan bahwa NPL di sektor UMKM naik dari 3,91% pada Maret 2020 menjadi 3,98% pada akhir Maret tahun. Bahkan, sempat mencapai puncak tertingginya pada Juli 2021 di angka 4,67%.
Periode terbaru hingga April 2024, NPL UMKM juga masih naik ke posisi 4,26%. Kenaikan NPL pada sektor tersebut menunjukkan belum pulihnya kondisi UMKM dari dampak pandemi sehingga kemampuan bayar debitur masih sulit.
Hal ini tentunya berimplikasi pada penyaluran kredit yang menjadi kurang ekspansif di sektor ini, padahal UMKM menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi RI yang separuhnya disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Sepanjang 2024, penyaluran kredit ke UMKM bahkan tercatat terus melambat. Berdasarkan laporan uang beredar terbaru dari Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit ke sektor UMKM per Mei 2024 tumbuh 7,3% secara tahunan (yoy) dengan nilai mencapai Rp 1.368,2 triliun.
Secara historis, pertumbuhan tersebut menjadi yang terendah sejak awal tahun 2024, menembus rekor terendah yang pernah terjadi pada Januari 2024 dengan pertumbuhan 7,9% yoy.
Pada Februari 2024, kredit UMKM sempat melonjak 9,4% yoy, tetapi pada bulan-bulan setelahnya, kredit UMKM terus mengalami perlambatan. Pada Maret 2024, kredit UMKM hanya tumbuh 8,7% yoy, kemudian April 2024 tumbuh 8,1% yoy.
Jika menilai dari kondisi ini, memang restrukturisasi kredit pandemi Covid-19 menjadi cukup esensial untuk diperpanjang. Hanya saja, diperlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap sektor-sektor yang memang masih terdampak, sehingga momentum pertumbuhan dapat lebih terjaga dan tidak terlalu membebani bank untuk mencadangkan kerugian terlalu besar.
Sumber: Jokowi Perpanjang Restrukturisasi, Separah Apa Kredit Macet UMKM? (cnbcindonesia.com)