Indonesia Menyapa, Jakarta — Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam) Mahfud MD menyoroti soal alih mitra kerja sama dari Jepang ke China dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh.
Menurut Mahfud, peralihan kerjasama menjadi China yang mana nilai proyek Whoosh jadi lebih tinggi memancing kecurigaan publik.
“Dulu kok tiba-tiba pindah ke Cina? Dulu tidak dipersoalkan, harganya begitu tinggi kok mau saja? Jangan-jangan ini ada main? Kan gitu,” kata Mahfud MD, dikutip dari tayangan yang diunggah di kanal YouTube Forum Keadilan TV pada Kamis (31/10/2025).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengungkap ada sebuah studi dari Deustche Welle, Jerman terkait 142 perjanjian kontrak China dengan 24 negara berkembang.
Studi tersebut dipublikasikan pada 31 Maret 2021.
Dalam studi itu, kata Mahfud, terungkap bahwa isi perjanjian kontrak China yang paling utama adalah kerahasiaan isi kontrak.
Kemudian, negara yang meminjam utang kepada China harus memberikan agunan (aset berharga yang dijadikan jaminan oleh peminjam (debitur) kepada pemberi pinjaman (kreditur) untuk memastikan pembayaran pinjaman).
“Ada satu studi yang dilakukan Deutsche Welle di Jerman, terhadap 142 kontrak yang dilakukan China bersama 24 negara lain,” ujar Mahfud.
“Isinya, yang paling penting itu kerahasiaannya. Utang negara peminjam terhadap China itu adalah utang rakyat, sehingga rakyat tidak boleh minta pemberhentian bayar, karena misalnya pemerintahnya dianggap curang.”
“Lalu, ada satu lagi klausul; setiap negara peminjam menyerahkan agunan, jaminan, yang bersifat rahasia dan dokumen-dokumen jaminan itu hanya disimpan oleh China.”
Soal agunan atau jaminan inilah yang menjadi pertanyaan bagi Mahfud, jaminan apa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada China dalam kaitannya dengan pembangunan proyek Whoosh.
Apalagi, menurut Mahfud, dokumen perjanjian maupun penghitungan proyek kereta cepat ini sulit diakses, padahal dokumen mengenai proyek Whoosh tidak termasuk rahasia negara.
Sulitnya akses dokumen ini dipertanyakan pula oleh para ahli yang sudah menyebut proyek itu tidak layak.
“Misalnya, seperti yang disebut Pak Agus Pambagio, Sri Lanka itu jaminannya kan pelabuhannya. Terus diambil China karena gagal bayar. Sekarang, pelabuhan internasionalnya menjadi pangkalan China,” papar Mahfud.
“Nah, kita tidak tahu, apakah Indonesia memberi jaminan itu.”
Mahfud MD lantas membenarkan, ada kemungkinan, akan ada sesuatu yang diambil oleh China dari pemerintah Indonesia kalau terjadi gagal bayar dalam utang proyek Whoosh.
Bahkan, jika terjadi gagal bayar, China juga bisa menganggap Indonesia melakukan wanprestasi (kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu perjanjian gagal atau lalai memenuhi kewajibannya yang telah disepakati).
“Bahkan, kalau terjadi perubahan hukum yang signifikan, tertulis di situ [dalam perjanjian utang] China bisa menganggap Indonesia atau negara lain wanprestasi dan dianggap gagal bayar, lalu dilakukan tindakan sesuai dengan jaminan-jaminan itu,” ujar Mahfud.
“Nah, ini yang merupakan hasil studi terhadap dokumen-dokumen ini.”
Oleh karena itu, Mahfud MD menilai, salah satu hal paling penting dalam penyelidikan dugaan korupsi terkait proyek Whoosh adalah menyelidiki dokumen kesepakatan Indonesia dengan China.
Menurutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mencari dokumen perjanjian kontrak antara Indonesia dengan China soal proyek tersebut.
“Kita tidak berharap ini terjadi pada Indonesia, tetapi itu [tindakan mengambil agunan saat ada gagal bayar utang] sudah dilakukan China ke negara lain, sedangkan kita tidak tahu dokumen [jaminan yang diberikan Indonesia ke China],” tutur Mahfud.
“Oleh sebab itu, menurut saya, dokumen itu harus dicari lebih dulu oleh KPK, baru cari orang-orang yang terlibat.”
Alih Kerjasama dari Jepang ke China dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Salah satu kontroversi dalam pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh adalah peralihan mitra dari Jepang ke China.
Sebagai informasi, proyek kereta cepat merupakan gagasan dari Jepang yang muncul pada era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2014-2015.
Saat itu, melalui JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang sudah melakukan studi kelayakan atau feasibility study meski belum diputuskan pemerintah Indonesia.
JICA pun rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan yang dilakukan bersama Kementerian Perhubungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini BRIN).
Pada 2015, saat pemerintahan RI sudah beralih dari SBY ke Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi), diputuskan akan dibuat proyek kereta cepat untuk rute Jakarta-Bandung.
Proyek ini pun seolah menjadi rebutan, karena tak hanya Jepang yang sudah berminat terlebih dahulu, tetapi China juga muncul sebagai tandingan.
Pada 26 Agustus 2015, Jepang menawarkan investasi sebesar 6,2 miliar dollar AS, dengan pinjaman proyek berbunga rendah 0,1 persen per tahun dengan tenor 40 tahun (tenggang 10 tahun), memakai skema Government-to-Government (G2G).
Jepang juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.
Di sisi lain, China datang dengan tawaran nilai investasi yang lebih murah dari Jepang, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi ini, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, ada perbedaan yang dinilai krusial antara tawaran Jepang dan China selain besaran nilai investasi proyek tersebut.
Pertama, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan KCJB ini tak menguras dana APBN Indonesia.
Kedua, tawaran China berbeda dari proposal Jepang karena diklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Akhirnya, pemerintah Indonesia pun berpaling dan memilih proposal yang ditawarkan China, sehingga sempat menimbulkan kekecewaan pemerintah Jepang.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh lantas ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Pengelola Whoosh adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).
Adapun PSBI dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).
Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.
Whoosh diresmikan oleh Jokowi pada 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta.
Kini, terlihat bahwa peralihan kerjasama untuk proyek KCJB ke China justru lebih mahal dibandingkan yang ditawarkan oleh Jepang.
Dalam perjalanannya, proyek mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.
Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Whoosh jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero) yang berperan sebagai lead konsorsium PSBI.
Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.
Karena menjadi lead konsorsium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.
Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.

