Ichsanuddin Noorsy Soal Polemik Whoosh: Kereta Cepat Itu Melayani Orang Kaya

Peristiwa

Indonesia Menyapa, Jakarta — Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy memberikan kritik tajam terhadap penanganan polemik proyek kereta cepat Whoosh serta menyoroti pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

Noorsy adalah seorang Doktor Ekonomi dari Universitas Airlangga yang vokal mengkritik soal utang negara.

Noorsy menyatakan keprihatinannya atas krisis kepercayaan publik yang diperparah oleh komunikasi institusi penegak hukum.

Dia menyoroti inkonsistensi pernyataan KPK yang membuka penyelidikan dugaan korupsi proyek Whoosh.

Hal itu disampaikan Ichsanuddin Noorsy saat sesi wawancara dengan Tribunnews.com dalam program On Focus pada Selasa (28/10/2025).

“Saya sorotin dulu pernyataan KPK ya. Kemarin dia bilang sudah melakukan penyelidikan. Tapi dalam pernyataan itu disebutkan sudah menyelidik sejak awal 2025. Sebelumnya, mereka minta data dan aduan. Kira-kira dari tiga pernyataan tadi ada yang bertentangan,” katanya.

Dalam konteks krisis kepercayaan publik yang sedang coba diperbaiki Purbaya, Noorsy menegaskan, aparat penegak hukum seharusnya mendukung upaya perbaikan ini.

“Jangan ikut-ikutan membuat rancu. KPK ikut membangun rancu kepercayaan publik dengan statement kayak gitu,” tegasnya.

Dia menekankan bahwa sebagai lembaga anti-rasuah, KPK harus konsisten berada di garis lurus kejujuran untuk mendukung pemulihan kepercayaan publik.

Noorsy juga mempertanyakan langkah KPK yang meminta pengaduan untuk kasus yang ia sebut sebagai ‘kriminalitas luar biasa’ (extraordinary crime).

“Ini mestinya delik umum kok. Mestinya lebih diplomatis lah,” tambahnya.

Di sisi lain, Noorsy juga menyoroti pernyataan Menteri Purbaya yang menyatakan tidak ingin membayar hutang Whoosh. Menurut Noorsy, Purbaya juga salah dalam persoalan ini.

“Ini belum bayar pokok, belum bayar cicilan pokok. Dia baru berjalan ‘penak-penak’ grace period, baru bayar bunga. Nah, baru bayar bunga saja sudah kena kerugian Rp2 triliun,” paparnya.

Noorsy secara khusus mengkritik peryataan ‘social services’ yang dikemukakan dalam pembahasan proyek Whoosh.

“Apa itu layanan sosial dalam konstruksi APBN? Saya nggak ngerti itu. Yang saya tahu yang dilihat adalah publik benefit, bukan social services. Kalau layanan sosial itu bagi para jomblo, orang miskin, anak terlantar, itu social services. Tapi bagi kereta api cepat yang dilayani adalah para orang kaya, kalimatnya bukan social services,” jelasnya.

Lebih lanjut, Noorsy menyatakan bahwa polemik ini menunjukkan masalah kompetensi di kalangan pejabat.

“Itu menunjukkan betapa banyak pejabat di Indonesia incompetence. Saya jujur saja, saya menyatakan, betapa banyak pejabat di Indonesia punya jabatan-jabatan tinggi, (tapi) pejabatnya rendah. Dia tidak paham konstitusi, dia juga tidak punya keahlian,” tandasnya.

 

Berikut petikan wawancara dengan Analisi Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy dengan Tribunnews:

Tanya: Ada beberapa poin penekanan terkait dengan kerancuan. Antara Purbaya (menteri keuangan) dan KPK.Apakah ini juga menjadi sorotan soal komunikasi di pemerintahan yang juga harusnya kita sorot terus?

Jawab: Dalam kasus kereta api cepat, dilihat secara eksplisit, implisit, punya akar masalah. Punya masalah yang mendasar. Secara eksplisit, antara Purbaya dan Rosan saja sudah bermasalah. Rokan bilang, “Saya nggak minta APBN untuk membayar,” kata Rosan. Rosan menyatakan dia sebagai danantara, pengelola aset BUMN. Saya bilang, ada dua peranan danantara: dia pengelola aset, tapi secara luas menjadi badan investasi.

Rosan juga berperan sebagai menteri investasi. Dia yang saya bilang rancu dalam persoalan danantara, menteri investasi, dan badan pembinaan BUMN.

Ketika kita lihat Purbaya dengan Rosan seperti itu, ketemu juga dengan masalah bagaimana Purbaya dengan KPK. Ketika kita tahu di situ secara eksplisit bermasalah, tentu implisitnya bermasalah. Jadi pesan terbuka bermasalah, pesan tersiratnya bermasalah, pesan tersembunyinya lebih bermasalah.

Yang pesan tersembunyi, saya bilang tadi, ada problematik pemahaman nilai-nilai atas yang namanya pembiayaan, public services, dan kebijakan-kebijakan dasar di bidang transportasi, moda transportasi di daerah-daerah, khususnya kereta api cepat, khususnya lagi ditarik ke dalam posisi yang disebut kerjasama internasional.

Misalnya begini, kita ambil dalam kasus kerjasama internasional, karena ini berkaitan dengan China, siapa yang tahu sekarang perjanjian konsorsium Waskita dengan China, isinya kayak apa? Nggak ada yang terbuka, nggak ada yang tahu. Saya bilang kemarin dalam forum komunikasi, “Ayo kita minta, kita bongkar sekarang, karena ini berkaitan dengan GCG, Good Corporate Governance, atau Good Governance pada Waskita atau pemerintahnya, Good Corporate Governance, kita buka saja bisa-bisaan. Siapa sesungguhnya bermasalah?”

Dalam hal ini saya menyarankan, baik Purbaya sebagai menteri yang sebelumnya cuma duduk sebagai kepala LPS, bongkar dulu perjanjiannya, jangan langsung bikin statement soal keuangannya. Artinya, legal due diligence, pemeriksaan status hukum atas kerjasama konsorsium Waskita ini dengan China, dibongkar.

Tanya: Jadi penyelesaian masalah di pemerintah nih, dari cara lama sampai ke pemerintahan yang baru, sampai ini belum enak gitu ya Pak? Kulturalnya tidak berubah?

Jawab: Itu yang saya bilang, jangan teriak-teriak yang namanya bangun sovereign wealth fund macam danantara. Kalau corporate culture-nya, kalau yang namanya political culture-nya, itu seperti sekarang, di tengah yang namanya sistemnya rusak dan busuk – ulang ya, di tengah sistemnya rusak dan busuk – tidak akan pernah bisa memperbaiki yang namanya bureaucratic culture.

Kemudian apa yang saya sebut sebagai organization culture itu menjadi lebih baik. Prabowo boleh teriak-teriak kemana-mana. Dia boleh, istilah saya, boleh membangun sejuta retorika. Tapi corporate culture-nya, bureaucratic culture-nya, organization culture-nya, corporate culture-nya, tidak berubah habis. Jadi itu tidak ada di akarnya masalahnya. Jadi bukan cuma sekedar bicara buah, bukan bicara ranting, bicara cabang dan batang. Tidak begitu. Lihat dulu akar masalahnya.

Saya tidak melihat dari presiden sampai dengan level ke bawah mau memperbaiki itu. Keluar kata kalimatnya, bukan kalimat melakukan resolusi dan solusi yang mendasar. Solusinya hanya melulu pada solusi yang struktural fungsional. Begitu.

 

Sumber: Ichsanuddin Noorsy Soal Polemik Whoosh: Kereta Cepat Itu Melayani Orang Kaya – TribunNews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *