Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan untuk Apa dan Siapa ?

Zainal Muttaqin, Praktisi Medis dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Dari 10 indikator kesehatan yang dipaparkan Suharso, sembilan diantaranya masih jauh dari target yang harus tercapai pada tahun depan.

Beberapa indikator yang tidak terpenuhi imunisasi dasar lengkap bayi yang baru mencapai 63,17% dari target sebesar 90%, angka balita stunting yang masih tinggi di angka 21,6% dari target 14%,

Eliminasi Malaria yang baru mencapai 372 dari target 405 Kabupaten/ Kota,

Eliminasi Kusta hanya mencakup 403 dari target 514 Kabupaten/ Kota

Insidensi TBC yang masih di angka 354 dari target 297/ 100 ribu populasi, persentase balita wasting (bertubuh kurus) masih 7,7% dari target 7%, dan angka perokok anak yang masih 9,1% dari target turun sampai 8,7%.

Indikator berikutnya yang gagal terpenuhi targetnya adalah terkait fasilitas pelayanan kesehatan.

Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3 jelas disebutkan kewajiban negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kementerian Kesehatan adalah kepanjangan tangan negara yang paling bertanggung jawab atas terpenuhinya kewajiban ini.

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/ Puskesmas yang terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas.

Terkait dengan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas, dari total 10.292 ada 3285 (31,6%) yang tidak punya dokter gigi (databoks.katadata.co.id).

Padahal tersedia 2500 lulusan dokter gigi baru setiap tahun, dan dari total 42.000 dokter gigi umum, baru sekitar 30% saja yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah (pdgi.or.id).

Jelas terlihat dari data tersebut di atas bahwa persoalan sebenarnya lebih pada distribusi SDM dokter, dokter gigi, dan Nakes lainnya, bukan pada produksinya semata.

Pertanyaannya adalah mengapa dokter gigi tidak berminat mengisi ke 3285 puskesmas tersebut, jangan-jangan mereka mesti cabut gigi di atas kursi rotan?

Salah satu bidang spesialis yang jumlah nya masih sedikit adalah Bedah Saraf, kurang dari 500 orang dan sekitar 100 orang bekerja di wilayah Jabodetabek.

Beberapa provinsi bahkan belum punya dokter bedah saraf, padahal kejadian cedera kepala/ perdarahan otak dan cedera tulang punggung akibat kecelakaan bisa terjadi dimanapun. Maluku, Kalteng, dan 4 provinsi baru di Papua belum punya spesialis Bedah Saraf.

Konyolnya, dokter spesialis bedah saraf yang sudah lebih dari 2 tahun bertugas di Ternate, Maluku Utara dan menangani operasi bedah otak untuk 45-70 pasien setiap bulan, terpaksa kembali ke Jakarta baru-baru ini, karena dalam 6 bulan terakhir hanya bisa mengoperasi 3 bayi hidrosefalus.

Alat CT scan satu-satunya yang ada di Ternate mengalami kerusakan dan RS tersebut/ pemerintah setempat tidak punya cukup anggaran untuk memperbaikinya. Padahal saat itu masih ada kewajiban mandatory spending 10% APBD untuk kesehatan.

Jadi salah satu sebab ketidakhadiran layanan spesialistik di banyak daerah adalah ketidaksiapan pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas dan sarana kerja bagi para spesialis tersebut.

Persoalan pokok lainnya adalah keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menyerap tenaga spesialis dan nakes lainnya untuk menjadi ASN.

Saat ini sekitar satu juta Nakes bekerja di berbagai daerah sebagai tenaga honorer, dan tahun ini pemerintah hanya bisa mengangkat kurang dari 20 % Nakes tersebut untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) (sehatnegeriku.kemkes.go.id).

Terkait dengan tenaga honorer ini, di sebuah ibukota provinsi, Nakes dengan tingkat pendidikan D3 mendapatkan gaji bulanan hanya 900 ribu rupiah, dan yang berpendidikan S1-S2 memperoleh 1,1 juta rupiah perbulan.

Pada saat yang sama, upah minimum kota (UMK) di tempat itu adalah 2,9 juta rupiah.

Jadi jelas terlihat bahwa pemerintah tidak memiliki rasa kemanusiaan dengan memaksa para nakes ini untuk mengabdi dan bekerja tanpa imbalan kesejahteraan yang layak.

Meskipun para nakes ini disumpah untuk bekerja mengabdi kepada kemanusiaan, hak-hak konstitusional mereka untuk hidup sejahtera sama sekali tidak diperhatikan (pasal 28 H, ayat 1 UUD 1945).

Belum lagi tunjangan tambahan penghasilan yang sering tidak dibayarkan selama berbulan-bulan.

RSUD Chasan Boesoirie, Ternate (Maluku Utara) tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 tenaga kesehatan PNS, 200 pegawai non-PNS, serta 20 orang tenaga dokter, demikian ungkap Indotimur.com tg. 9/1/2023 (indotimur.com/kesehatan/).

Berita dari Trans Tv , tanggal 4 Juli, 2023, menyatakan terjadinya mogok kerja dokter spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Kabupaten Buru, karena insentif mereka selama Agustus 2022 s/d Juni 2023 (11 bulan) belum dibayarkan.

Apakah UU Kesehatan (UU 17-2023) memberikan solusi untuk semua persoalan diatas?

Tanpa mencari akar permasalahan penyebabnya, persoalan ini akan terus berulang dan tentu rakyat banyaklah yang akan merasakan akibatnya.

Contoh nyata adalah program pengadaan 7 dokter spesialis dasar dan penunjang untuk mengisi 514 RS kabupaten/kota se Indonesia, yang dimulai sekitar tahun 2000.

Selama lebih dari 22 tahun, kurang dari 60% yang terisi, padahal menterinya sudah berganti 7 kali dan pemilu sudah berulang 5 kali.

Jelas dari berbagai narasi yang dibuat, Menkes menjadikan organisasi profesi dokter (IDI) sebagai biang kerok dari karut-marut distribusi dokter spesialis.

Berbagai tuduhan fiktif dibangun dari asumsi tanpa bukti bahwa yang bisa sekolah spesialis adalah mereka yang punya ‘darah biru’, perlu rekomendasi senior untuk bisa sekolah dan berbagai narasi lain yang kebenarannya layak dipertanyakan.

Semua orang yang pernah sekolah di luar negeri, baik S2, S3, apalagi spesialis pasti diminta rekomendasi dari profesor atau Dekan atau pejabat lain terkait bidang ilmunya.

Siapakah pihak yang paling bertanggung jawab atas kegagalan pencapaian target eliminasi beberapa penyakit rakyat miskin seperti Kusta, Malaria, TBC, Balita Kurang Gizi, serta jumlah perokok anak yang tak kunjung turun?

Apakah kehadiran RS Internasional dengan fasilitas mewah di pelbagai daerah, termasuk pembangunan 30 RS Tiongkok akan punya andil dalam mengatasi pelbagai persoalan kesehatan dasar tersebut di atas ?

Apakah hadirnya Beijing Genomik Institute dengan banyak peralatan canggih untuk pengumpulan data genomik bisa berimbas pada turunnya angka balita Stunting/ Tengkes ?

Semua otoritas tentang ini ada ditangan Kemkes, apakah perlu dicari juga kambing hitam untuk kegagalan tersebut di atas.

Apakah Menkes juga akan menyalahkan organisasi profesi dokter gigi (PDGI) sebagai penyebab tidak hadirnya dokter gigi di lebih dari 3200 Puskesmas.

Dalam banyak hal, solusi dan langkah yang dilakukan Menkes ini bak peribahasa “jauh Panggang dari Api”.

Bekerjasama dengan Elon Musk untuk menghadirkan internet di seluruh puskesmas jelas bukan sebuah kebutuhan yang mendesak karena pasien sakit gigi tidak bisa dicabut atau ditambal giginya via zoom.

Pada UU 17-2023 ini tidak ada pasal terkait kesejahteraan dokter/ Nakes di daerah 3 T (terluar, termiskin, terpencil), padahal ini ada dalam UU 29-2004. Juga tidak ada pasal terkait perubahan otonomi daerah tentang Nakes.

Selain itu tidak ada pasal yang mewajibkan pemerintah untuk mengangkat nakes dan dokter spesialis sebagai ASN.

Persoalan nakes honorer dan penyediaan fasilitas dan sarana kerja bagi nakes di Puskesmas adalah kewenangan pemerintah daerah.

Selain itu karir nakes sebagai pegawai daerah juga banyak yang tidak jelas dan banyak yang akhirnya lepas dari profesi dan menduduki jabatan politik.

Setidaknya ada 6 orang dokter dari 80 (7,5%) sejawat seangkatan FK saya yang masuk penjara karena jabatannya sebagai pejabat Dinas Kesehatan atau Direktur RSUD.

Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita semua bahwa UU No 17-2023 yang baru saja disahkan, yang dalam prosesnya menegasikan syarat meaningful participation dari rakyat sebagai kelompok yang paling terdampak, tidak akan bisa menyelesaikan sebagian besar persoalan kesehatan dasar di Indonesia, bak peribahasa ‘Jauh Panggang dari Api”.

“Pertanyaan berikutnya adalah UU kesehatan ini untuk apa dan untuk siapa?”

#UUKesehatanPotensiBahaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *