Indonesia Menyapa, Jakarta – Tidak ada persiapan yang terlalu besar atau terlalu kecil dalam menghadapi bencana. Setiap langkah kecil yang kita ambil untuk persiapan adalah investasi dalam keselamatan dan ketahanan kita.
Pada 4 April 2024, BNPB Indonesia merilis infografik jumlah kejadian bencana di Indonesia dari Januari hingga Maret 2024 sudah ada 585 kejadian. Akibatnya sudah ada 118 orang meninggal dunia, 3 juta orang lebih menderita dan mengungsi. Kejadiannya juga berdampak pada 29.995 rumah penduduk rusak, 592 fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadat dan kesehatan rusak, serta 163 jembatan rusak yang mengganggu akses transportasi.
Salah satunya seperti yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Setiap tahun banjir di sana semakin parah. Tahun ini banjir di Padang menyebabkan 26 orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang mengungsi. Tingginya curah hujan selalu dijadikan kambing hitam penyebab utama banjir. Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, bencana banjir dan longsor yang terjadi di daerah sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pemicu utamanya adalah kerusakan hutan yang disebabkan oleh aktivitas penebangan liar dan pembukaan lahan. Pantauan Walhi Sumbar, penebangan liar di kawasan TNKS sudah berlangsung sejak 2018 atau seiring munculnya banjir.
Begitu pula di Demak, Jawa Tengah. Di sana banjir menyebabkan puluhan ribu orang harus mengungsi. Dosen Teknik Geologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Salahuddin Husein, mengatakan banjir di Demak disebabkan oleh perubahan iklim, eksploitasi alam secara berlebihan, dan skema mitigasi yang dinilai kurang. Di daerah hulu atau area perbukitan Kendeng, terjadi perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan dan pertanian, yang akhirnya mempercepat erosi dan menambah volume debit air. Di hilir juga pembangunan infrastruktur sangat massif dan memberikan beban bagi tanah sehingga terjadi penurunan permukaan tanah di lahan penerima banjir. Laporan Walhi pada Januari 2023 menunjukkan juga maraknya penambangan batu gamping di Kawasan Karst Sukolilo, baik yang berizin maupun ilegal.
Merespons bencana-bencana yang terjadi, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan pemerintah untuk mencegahnya dan mengurangi dampaknya. Di antaranya pembangunan infrastruktur pengamanan seperti tanggul, bendungan, dan sistem drainase untuk mengurangi risiko banjir dan tanah longsor. Dilakukan juga penyuluhan dan pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan risiko bencana dan tindakan tepat untuk menghadapinya melalui sekolah, komunitas masyarakat dan membuat kampanye kesadaran bencana di berbagai platform.
Ada pula pengembangan teknologi dan sistem peringatan dini untuk memperingatkan masyarakat tentang ancaman bencana seperti banjir, tsunami, dan cuaca ekstrem pun telah dilakukan. Pemerintah juga telah melakukan pemetaan dan zonasi bencana untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang rentan terhadap bencana tertentu. Informasi ini digunakan untuk merencanakan pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur, dan evakuasi darurat. Pemerintah pun sudah menerapkan kebijakan dan regulasi untuk mengintegrasikan manajemen risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan, termasuk persyaratan tahan gempa dan tahan bencana dalam konstruksi bangunan dan infrastruktur. Tapi, sudah cukupkah Upaya-upaya yang ada?
Tantangan Tetap Ada
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan, tantangan dalam mencegah bencana tetap ada, terutama karena kompleksitas geografis, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk yang cepat.
Melihat kejadian seperti gempa di Bantul, Lombok, Palu, dan terakhir Cianjur masih ada ratusan dan ribuan orang yang meninggal, kebanyakan disebabkan oleh kerusakan infrastruktur yang kemudian menimpa dan menyebabkan orang terluka dan meninggal. Meskipun sudah ada panduan bagaimana membangun bangunan yang tahan gempa, tapi sepertinya masih banyak yang belum bisa menerapkan.
Berbeda dengan Taiwan dan Jepang, setelah mereka mengalami gempa besar yang juga pernah merenggut ribuan nyawa mereka melakukan berbagai usaha mitigasi, pencegahan, dan kesiapsiagaan secara msif. Sehingga ketika gempa besar terjadi lagi, jumlah korban dapat diminimalisasi.
Di Taiwan terbukti pada saat terjadi gempa pada 3 April 2024 dengan magnitudo 7,4 dilaporkan 13 orang meninggal dunia dan 50 orang dinyatakan hilang. Hal ini tentunya jauh berbeda ketika gempa besar terjadi pada 1999 yang menewaskan 2.400 lebih orang. Dalam kurun waktu 25 tahun Taiwan melakukan usaha mitigasi, pencegahan, dan kesiapsiagaan secara komprehensif dan masif. Sehingga ketika terjadi gempa besar lagi bisa kita lihat dampaknya sekarang.
Sementara di Jepang, pada 1 Januari 2024 gempa dengan magnitudo 7,6 dan menyebabkan 161 korban meninggal. Gempa dahsyat ini telah merobohkan beberapa bangunan, tapi lebih banyak bangunan yang tidak roboh. Tentunya ini berkat pembelajaran seabad negara Jepang menghadapi gempa setelah gempa besar pada 1923 yang melanda Tokyo, diperkuat lagi setelah mengalami gempa Kobe pada 1995. Sejak 1981 Jepang mewajibkan semua bangunan harus dibangun tahan gempa. Berbagai penelitian terkait dengan infrastruktur tahan gempa terus dilakukan dan peraturan terus diperbaharui untuk memastikan bangunan di Jepang tahan gempa. Pendidikan dan simulasi rutin pun dilakukan dari usia dini, di gedung-gedung perkantoran dan sekolah terus dilakukan.
Sebenarnya apa yang sudah dilakukan oleh Taiwan dan Jepang juga sudah dilakukan oleh Indonesia, hanya saja masih banyak di tataran regulasi. Sedangkan penerapan dari regulasi-regulasi yang ada masih belum dijalankan dengan benar, bahkan masih banyak orang yang belum tahu terkait dengan regulasi penanggulangan bencana. Pembangunan infrastruktur tahan gempa masih sangat jauh dari harapan, yang ada masih sebatas prototipe dan diterapkan di skala kecil. Saya khawatir perubahan-perubahan ini berjalan sangat lambat dan keburu kejadian datang lagi dan banyak korban akan tetap berjatuhan.
Meningkatkan Kesiapsiagaan
Di sinilah pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan dengan mengajak masyarakat melakukan simulasi bencana secara mandiri, setiap 26 April yang menjadi Hari Kesiapsiagaan Bencana.
Simulasi adalah salah satu cara dalam persiapan untuk menghadapi situasi darurat. Dengan melakukan simulasi secara benar dan rutin dapat membantu meningkatkan kesadaran, kesiapan dan mengajarkan respons yang tepat dalam keadaan darurat. Untuk itu simulasi pun tidak bisa dilakukan sembarangan; simulasi haruslah realistis dan mencakup berbagai skenario yang mungkin terjadi. Semakin efektif dalam melakukan persiapan individu dan komunitas maka simulasinya akan berkualitas.
Memang, tidak ada jaminan bahwa simulasi bencana akan menyelamatkan sepenuhnya. Banyak faktor lain yang mempengaruhinya seperti skala bencana, ketersediaan sumber daya, dan kondisi lingkungan yang berkembang dengan cepat. Walau demikian, berpartisipasi dalam simulasi bencana dapat meningkatkan peluang bertahan hidup dan meminimalkan kerugian dalam keadaan darurat.
Penting bagi setiap orang sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam simulasi bencana. Pastikan tidak ada satu orang pun tertinggal, baik anak-anak, kaum muda, orang dengan disabilitas, lansia, dan perempuan. Simulasi bukan hanya untuk orang tertentu, tapi semua harus terlibat dari mulai persiapan, penerapan, dan evaluasi. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin besar kemungkinan mereka siap menghadapi bencana.
Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) mendukung berbagai pihak untuk terlibat dalam penanggulangan bencana dari tingkat desa hingga kabupaten/kota memiliki dokumen kesiapsiagaan. Melibatkan semua pihak termasuk anak, kaum muda dan orang disabilitas dalam proses kajian risiko bencana, pembuatan prosedur tetap dan simulasi bencana. Mereka juga dilibatkan dalam melakukan kampanye terkait kesiapsiagaan bencana dengan menggunakan berbagai platform termasuk media sosial. Kaum muda juga didukung inisiasinya dalam upaya-upaya mitigasi dan pencegahan terjadinya bencana seperti dengan melakukan penanaman pohon dan mangrove termasuk pemeliharaannya.
Namun juga perlu diingat bahwa simulasi bencana hanya bermanfaat jika pembelajaran yang diperoleh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti mengadopsi kebiasaan keselamatan, mempersiapkan peralatan darurat, dan memiliki rencana darurat yang jelas. Komunikasi yang efektif dan koordinasi antara lembaga pemerintah, organisasi penyelamat dan kemanusiaan serta masyarakat sangat penting dalam menyelamatkan diri dari bencana. Simulasi membantu meningkatkan keterampilan komunikasi dan koordinasi ini.
Simulasi bencana serta upaya kesiapsiagaan juga harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana yang memadai. Apa iya, ketika kita simulasi berlindung di bawah meja saat merasakan gempa tetapi ternyata meja dan bangunannya tidak kuat kita akan tetap selamat? Apa iya, ketika masyarakat simulasi banjir tapi penebangan liar dan alih fungsi lahan tetap berlangsung, masyarakat akan tetap selamat?
Oleh karena itu, kolaborasi dengan semua sektor untuk melakukan mitigasi dan pencegahan terjadinya bencana harus dilakukan secara cepat dan intensif. Karena semua orang berhak untuk selamat.
Maulinna Utaminingsih Urban Nexus Project Manager Yayasan Plan International Indonesia
Sumber: Cukupkah Simulasi Bencana Menyelamatkan Kita? (detik.com)