Indonesia Menyapa, Jakarta – Pernahkah kita mencoba untuk memahami sesuatu yang sangat rumit dan kita sampai pada titik buntu? Kita merasa jika kita sudah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini, tetapi tidak ada hasil yang didapat, seperti contoh simpel yang kita sering melakukannya yaitu untuk mencoba tidur di luar jam kebiasaan tidur kita atau saat kita merasa susah sekali untuk tidur. Semakin keras kita memaksa diri kita untuk tidur, semakin susah juga kita untuk dapat tertidur.
Kita mencoba dengan berbagai cara mulai dari menghitung domba yang melompati pagar, minum coklat panas, sampai mematikan lampu tidur kita. Namun, pada saat kita sudah berada di kondisi rileks kita malah tidak sengaja tertidur dengan sendirinya dan di keesokan harinya kita kebingungan, “Bagaimana cara kita dapat tertidur?”
Aldous Huxley menyebutnya dengan “combining relaxation with activity.” Ia merupakan seorang penulis, penyair, dan filsuf dari Inggris. Dia dikenal atas novel-novelnya seperti Brave New World yang berlatar di London era distopia, dan buku non fiksinya seperti The Doors of Perception yang menjabarkan pengalaman setelah mengonsumsi obat psikedelik. “The harder we try with the conscious will to do something, the less we shall succeed,” kata Huxley
Terdapat penjelasan yang sudah ada sebelum Huxley mengemukakan “Law of Reverse Effort”. yakni sebuah gagasan yang disebut “Wu Wei”, yang secara harfiah berarti tidak melakukan apa-apa atau sesuatu yang berjalan dengan sendirinya. Mari mengenal Wu Wei lebih dekat.
Wu Wei merupakan pokok pikiran filosofis utama dalam ajaran Taoisme. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, secara harfian Wu Wei memiliki makna “tidak melakukan apa apa”. Namun hal ini digambarkan sebagai suatu tindakan yang mengesampingkan tujuan dalam melakukan suatu tindakan, tapi tidak menghalangi perwujudan hasil. Dengan kata lain kita dapat mendapatkan hasil atau kemenangan, meskipun tidak melakukan tindakan yang disengaja.
Definisi Wu Wei yang menonjolkan “tanpa usaha” dan “tindakan” memang tampak paradoks. Pertama, terjadinya “keadaan pikiran tanpa kesadaran” dan “aktif dan efektif secara optimal” menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana ketiadaan sarana sadar masih dapat mewujudkan hasil yang efektif (Kee et al, 2021).
Pada saat kita melakukan suatu tindakan dengan begitu keras kita akan menekan diri kita untuk terus mencoba dan itu dapat membebani diri kita sendiri. Mungkin sebagian besar dari kita memilih untuk terus berusaha dan tidak menyerah –kata menyerah sangat lekat dengan konotasi negatif; suatu tindakan yang menggambarkan rasa lemah dan pengecut seorang individu.
Kita sudah membuat analogi mengenai hukum usaha terbalik di awal tulisan ini. Suatu kondisi di mana kita menyerahkan diri pada kekuatan yang lebih besar atau suatu yang mulia dan benar, bukanlah tindakan seorang pengecut. Terdapat suatu kebijaksanaan dalam mengetahui batasan-batasan dari diri kita dan merangkul kerendahan hati untuk menerima sesuatu hal. Makna inilah yang coba diberikan Wu Wei.
Ini bukan perihal membenarkan rasa malas atau sebuah pembelaan diri untuk tidak mau berusaha dan hanya bermain gawai serta berharap hasil yang diberikan dari rasa malas kita. Wu Wei menitikberatkan dalam aspek menghargai, mengakui, dan menerima tarikan dari entitas yang jauh lebih besar dari kita. Mungkin di dalam masyarakat kita sering disebut dengan takdir atau intuisi, tatapi Wu Wei mencoba memberikan pandangan untuk berhenti melakukan yang kita anggap benar dan membiarkan diri kita ditarik oleh kekuatan yang lebih besar atau eksistensi yang Maha Kuat (Thomson, 2022).
Praktik Nyata Sehari-hari
Setelah membaca gagasan seputar Wu Wei, apakah dapat kita terjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana hukum Huxley tentang Law of Reverse Effort dapat kita lihat sebagai praktik nyata, bukannya hanya sebuah ideologi?
Faktanya, “tidak melakukan” adalah suatu hal yang paling mendasar dari berbagai tugas seperti kita dapat mengambil contoh dalam kehidupan sehari-hari kita (Alhom, 2023).
Afirmasi sosial
Dalam beberapa kondisi kita seringkali berusaha untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, tapi sering kali kita mendapatkan hasil yang sebaliknya. Di suatu kondisi pesta atau acara kita akan terlalu banyak menunjukkan segala kemampuan atau pengetahuan yang kita miliki untuk membuat orang lain terkesan atau kagum. Namun, hal ini akan menjadi bumerang bagi kita; semakin banyak usaha yang dilakukan untuk menjadi disukai, semakin tidak disukai.
Bertemu dengan masalah yang rumit
Kita sering dihadapkan pada beberapa kondisi yang menuntun kita untuk melakukan pilihan yang sulit. Seseorang mungkin akan berjuang untuk menemukan solusi dengan memaksa diri mereka sendiri untuk berpikir lebih keras atau lebih lama. Law of Reverse Effort menunjukkan bahwa tidak ada salahnya kita mundur dan beristirahat sejenak. Tekanan untuk menemukan solusi justru akan menghambat mental dalam memproses suatu masalah secara kreatif dan efisien.
Relationship
Sekarang kita masuk ke konteks hubungan romantik. Sebagian besar dari kita mestinya memiliki keinginan untuk mendapatkan pasangan yang romantis bahkan sampai pada tahapan yang sempurna. Seorang akan cenderung mengendalikan setiap aspek dari pasangannya untuk mendapatkan hasil yang sempurna, terus mencari kepastian, atau over possessive. Muncul sebuah paradoks, dengan adanya usaha untuk mencari sesuatu yang sempurna justru membuat pasangan semakin menjauh karena rasa tercekik atau terkekang.
Pada intinya, Law of Reverse Effort mengingatkan kita bahwa ada kebijaksanaan dalam mengetahui kapan harus melepaskan dan mempercayai prosesnya daripada mengejar tujuan tanpa henti. Hukum ini mencoba mendorong kita untuk melihat titik seimbang antara usaha dan penyerahan diri, memberikan ruang untuk spontanitas, kreativitas, dan aliran alami kehidupan untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan.
Sumber: Seni Membiarkan Sesuatu Berjalan dengan Sendirinya (detik.com)