Pilkada, Dinasti Politik, dan Rapuhnya Masyarakat Sipil

Indonesia Menyapa, Jakarta — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang akan dilakukan secara serentak sedang menjadi diskursus publik. Sebab, proses elektoral ini seolah-olah hanya menjadi arena politik yang memfasilitasi keluarga politik untuk bisa mempertahankan kekuasaan politiknya. Dalam bahasa lain, term yang lebih populer yaitu politik yang memiliki pertalian dinasti politik yang sedang tumbuh subur dalam kontestasi politik, terutama teritorial politik yang seringkali menjadi preferensi politik oleh para ilmuwan politik.

Ilmuwan politik maupun pemerhati politik kerap merujuk Banten sebagai salah satu teritorial politik yang didominasi oleh kekuatan besar yang memiliki afiliasi politik kekerabatan dengan figur, tokoh, dan elite politik. Bahkan, arena politik di kabupaten/kota di wilayah ini juga tak bisa lepas dari ‘cengkeraman’ politik orang kuat lokal yang berhasil melakukan transformasi dalam transisi politik saat rezim Orde Baru jatuh. Sebagaimana yang terekam dalam kepemimpinan daerah, seperti di Lebak ada klan politik Mulyadi Jayabaya, kemudian di Pandeglang ada klan Dimyati Natakusumah dan klan Ratu Atut.

Pada saat yang sama, di Kabupaten Serang ada figur Ratu Tatu Chasanah yang merupakan ibu kandung dari Pilar Saga Ichsan yang kini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Tangerang Selatan dan sejumlah daerah lainnya. Kekuatan antarklan politik di Banten ini hanya sekadar mendorong sirkulasi elite politik lokal semata yang berjalan dan mengabaikan keterlibatan masyarakat sipil. Kekuatan yang dimiliki oleh para keluarga politik sudah barang tentu telah menutup struktur peluang politik masyarakat sipil.

Karena itu, dalam proses kontestasi politik, masyarakat sipil selalu teralienasi dalam arena politik. Alih-alih sedang mengonsolidasikan demokrasi, justru masyarakat sipil mengalami fragmentasi secara sosial. Meski demikian, masyarakat sipil tampaknya masih belum bisa terlibat secara proaktif dalam membangun konsolidasi. Sebab, sebagian masyarakat sipil juga menjadi bagian yang tidak bisa dinafikan dari klan politik, karena adanya pola relasi patronase yang diciptakan oleh para klan politik.

Akibatnya, secara reguler saat kontestasi politik digelar, para kandidat yang berasal dari keluarga politik tersebut akan ikut serta berlaga dalam kompetisi. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status quo melalui skema pemilihan yang dilakukan secara demokratis. Kompetisi politik antarklan politik bukan hanya muncul dalam pilkada, melainkan juga dalam pemilihan legislatif.

Pemilu 2024 yang lalu, daerah pemilihan Banten 1 misalnya, didominasi oleh pertarungan politik antarklan, di antaranya Adde Rossi yang merupakan istri dari Andika Hazrumy, putra Ratu Atut. Di samping itu, ada klan Mulyadi Jayabaya, terdiri atas Iti Octavia Jayabaya dan Hasbi Asyidiki Jayabaya serta klan Dimyati Natakusumah seperti Risya Azzahra Natakusumah dan Rizki Natakusumah.

Menjelang Pilkada Banten, antarkeluarga politik ini mulai melakukan safari politik, mengaktivasi jejaring politik, mesin partai, relawan politik, sosialiasi, dan menyerahkan dokumen formulir pendaftaran ke partai politik agar bisa mengusungnya pada Pilgub Banten mendatang.

Kemunculan keluarga politik di Banten tidak secara tiba-tiba muncul dalam arena politik, melainkan ada berbagai faktor determinan yang mempengaruhinya, di antaranya, sentralisasi politik, kandidasi politik cenderung tertutup, kaderisasi partai tidak berjalan optimal, kekuatan absolut di suatu jabatan dan jaringan kekuasaan menyebar dari kelompok tertentu (Litbang Kompas, 2024).

Patronase

Patronase ekonomi, sosial, dan politik seringkali dijadikan instrumen politik untuk mendulang perolehan suara pada kontestasi politik agar bisa meraih kemenangan. Biasanya, figur yang sentral dalam keluarga politik akan menjadi kompas politiknya. Mekanisme yang dilakukan tentunya sangatlah beragam oleh antarkeluarga politik. Dalam hal ini, seperti patronase ekonomi, misalnya, bisa saja keluarga politik kontestan membutuhkan kekuatan insentif besar dalam arena politik, terlebih masyarakat atau pemilih yang cenderung permisif terhadap politik uang.

Selain itu, biaya politik yang sangat tinggi menjadi sesuatu yang inheren dalam sistem demokrasi kontemporer yang biasanya digunakan oleh para kandidat untuk memperoleh raihan suara. Sehingga, pola politik ini seperti rangkaian atau sistem melingkar yang tidak bisa dilepaskan. Oleh karena itu, para pemilik modal atau dalam perspektif Winters (2011) disebut oligarki juga akan terlibat dalam proses kontestasi, karena ada hubungan timbal-balik di antara pemodal, politisi, dan masyarakat.

Di sisi yang lain, patronase sosial juga mudah ditemui, terutama anggota keluarga politik yang sudah menjadi pengurus organisasi maupun komunitas tertentu, baik organisasi masyarakat keagamaan maupun yang lainnya. Saat mereka terlibat dalam organisasi tersebut, secara eksklusif masuk ke jenjang struktur tertinggi. Hal ini dilakukan sebagai strategi politik untuk menutup struktur peluang politik masyarakat dan memobilisasi massa. Tak hanya itu, organisasi yang telah menerima anggota klan politik ini akan menerima dukungan berupa program maupun akomodasi politik lainnya.

Patronase politik juga tidak bisa diabaikan, seperti kekuatan birokrat yang bisa juga dominan, terlebih jika ada intervensi politik sebelumnya. Dinasti politik dan patronase sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, keluarga politik yang akan melenggang ke arena politik tentunya sudah memiliki instrumen politik masing-masing.

Konsolidasi Demokrasi

Kerapuhan yang dialami masyarakat sipil dalam arena politik ini karena sentralisasi kekuasaan yang dominan dan tertutupnya peralihan sirkulasi elite ke masyarakat yang disebabkan karena dimensi patronase yang mengakar. Konfigurasi politik secara gradual mulai berubah setelah jatuhnya tampuk kekuasaan rezim Orde Baru, termasuk skema pemilihan kepala daerah.

Hadirnya berbagai kebijakan yang memberikan keleluasaan kepada daerah seperti desentralisasi juga turut mendorong kemunculan elite lokal dalam menguasai ekonomi-politik. Para elite lokal ini tidak bisa secara leluasa menguasai sumber daya di wilayahnya saat Orde Baru memimpin, karena sentralisasi kekuasaan. Pada saat yang sama, alih-alih desentralisasi akan menciptakan pemerataan, justru membuka kans sosial, ekonomi, dan politik keluarga politik semakin terbuka dan bertambah. Akhirnya, masyarakat sipil tidak bisa melakukan akselerasi secara sistemik.

Masyarakat sipil dihadapkan pada kekuatan keluarga politik dan oligarki yang memiliki kekuatan politik superior. Dengan kata lain, masyarakat sipil terisolasi dari arena politik. Karena arena politik telah dikuasai oleh keluarga politik sejak awal. Kesukaran yang dialami oleh masyarakat sipil berdampak pada upaya pembangunan konsolidasi demokrasi. Pada dasarnya, memang tidaklah mudah bagi masyarakat sipil untuk tampil dalam arena politik, terlebih keluarga politik juga menerapkan strategi politik menutup kesempatan dengan mekanisme patronase, klientelisme, dan menutup komunikasi dengan elite politik nasional.

Keterlibatan elite politik nasional dalam politik lokal tentunya memiliki implikasi politik, terutama akan terganggunya kekuasaan keluarga politik dalam perebutan kekuasaan. Salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat sipil untuk bisa menjadi aktor utama dalam arena politik yaitu dengan membangun aliansi politik. Meskipun, membangun aliansi politik juga tidak semudah yang dibayangkan.

Pada akhirnya, pemilih dan masyarakat sipil tampaknya masih mengalami kesulitan untuk bisa survive dalam arena politik. Menjelang pemilihan gubernur Banten 2024, keluarga politik yang mendominasi kekuasaan di wilayah teritorial politik ini juga sudah aktif membangun komunikasi politik, seperti Airin Rachmi Diany, Iti Octavia Jayabaya, dan Dimyati Natakusumah serta bakal kontestan lainnya. Keluarga politik ini juga mulai mengamankan para penerus politiknya di tingkat kabupaten/kota.

Dalam konteks ini, meritokrasi politik tampaknya mengalami erosi yang tajam dan kekuasaan politik yang hanya dikuasai oleh individu atau keluarga politik tertentu akan mengakibatkan munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebab, keluarga yang memiliki afiliasi politik genealogis tentunya memiliki privilese untuk bisa mengakses berbagai program pemerintah. Sehingga, bisa menambah kekayaan keluarga politik tersebut.

Selain itu, partai politik turut menjadi aktor utama dalam mempertahankan status quo keluarga politik. Hal ini tercermin dari lemahnya kaderisasi di internal partai politik dan cenderung mendorong dalam mengusung serta mendukung kontestan yang berasal dari keluarga politik. Tak ayal, dalam kompetisi politik seperti pilgub dan pilbup/pilwalkot terjadi pembangunan koalisi besar alias memboyong semua partai politik. Imbasnya, tidak ada kompetisi yang fair dan demokratis.

Imron Wasi, S.Sos, M.I.P Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia, Direktur Eksekutif Lingkar Studi Politik Milenial

 

Sumber: Pilkada, Dinasti Politik, dan Rapuhnya Masyarakat Sipil (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *