Orang Sederhana yang Menempati Pucuk MA

Indonesia Menyapa, Jakarta – Sebanyak 24 hakim agung memilih Suharto menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Non Yudisial, bersaing ketat dengan hakim agung Haswandi yang meraih 22 suara. Ketua Muda MA bidang Pidana itu akhirnya menjadi orang 1,5 di puncak lembaga pengadilan tertinggi di Indonesia itu, bersama Sunarto yang lebih dulu menjadi Wakil Ketua MA bidang Yudisial.

Tiga tahun lalu, secara kebetulan saya bertemu dengan Suharto di Bandara Juanda, Sidoarjo. Berbeda dengan pejabat tinggi negara lainnya, Suharto berjalan sendirian, tanpa protokoler. Yang menjemputnya juga hanya seorang sopir. Mobil yang ditumpanginya bukan Alphard atau Fortuner, tapi Honda Freed. Suharto tanpa pengawalan vorijder menembus kemacetan perjalanan darat selama 6 jam ke Jember.

Bandingkan dengan pejabat negara lainnya atau level Eselon 1. Setibanya di bandara, ajudan dan staf sudah menyambut di ruang VVIP. Patwal siap mengawal menembus macetnya jalanan dengan suara memekikkan. Bahkan kerap ada yang menyarter jet pribadi bila kunjungan ke luar kota.

Bila mau menggunakan kekuasaannya, sebagai hakim karier yang mempunyai jejaring di mana-mana, maka bisa saja Suharto menggunakan privilese tersebut. Tinggal WhatsApp, protokoler menyambut. Tapi itu tidak dilakukannya.

Secara kebetulan juga, saya bertemu alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember itu di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, setahun lalu. Kali ini Suharto hanya ditemani istrinya, berbaur dengan ribuan orang jalan kaki di Car Free Day, Jakarta. Lagi-lagi tanpa pengawalan dan protokoler. Padahal, di mejanya menumpuk berkas perkara pembunuhan berencana dengan terdakwa jenderal hingga kasus narkoba kelas kakap.

Di sirkelnya, Suharto dikenal seorang kutu buku. Kamus berjalan, demikian kata para koleganya. Jarinya jauh dari stik golf atau mik karaoke, lazimnya para pejabat tinggi Indonesia. Akhir pekannya dihabiskan dengan joging/jalan kaki atau sekadar berkumpul bersama keluarga.

“Nggak, saya nggak bisa golf,” kata Suharto sambil tertawa kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Dengan posisinya, Suharto setara dengan menteri senior fullpower. Tapi pria yang pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu memilih sepatu merek kebanyakan, bukan merek butik seperti LV, Bally, atau Gucci.

Meski demikian, Suharto tetap menjaga wibawa lembaganya. Tidak sungkan baginya meninggalkan ruang pertemuan bila pengundang tidak menempatkan posisi lembaga MA dengan pantas di forum tersebut.

Dipercaya sebagai Wakil Ketua MA Non Yudisial menjadi amanah besar yang tidak ringan. Ia bertanggung jawab atas tugas penganggaran MA/923 Satuan Kerja dan 42.000-an SDM pengadilan. Di mana MA masih ada pekerjaan rumah (PR) besar usai Sekretaris MA kembali terlilit kasus korupsi untuk kedua kalinya. Apalagi KPK masih terus mengintip pergerakan kebijakan MA pasca KPK melakukan operasi besar-besaran beberapa waktu lalu.

Belum lagi postur anggaran. Yaitu yang tidak hanya fokus pada pembangunan di pusat tetapi juga pemerataan kesejahteraan hakim di berbagai pelosok daerah. Pembangunan gedung pengadilan juga harus memperhatikan kualitas bangunan yang bisa bertahan 100 tahun ke depan. Bukan hanya mengejar target penyelesaian pembangunan.

Selain itu, pengadilan tidak hanya melakukan bongkar pasang inovasi pelayanan semata, tapi juga mengembalikan kepada kitah yaitu membangun kewibawaan, keagungan, dan keadilan. Bukan pekerjaan mudah.
Tapi, kesederhanaan semoga bisa jadi modal besar Suharto mendampingi Ketua MA Prof HM Syarifuddin membawa lembaga pengadilan mengarungi lautan perubahan menuju pelabuhan keadilan. Berduet dengan Sunarto yang telah duduk di kursi Wakil Ketua MA bidang Yudisial yang juga dikenal dengan kesederhanaan dan kejujurannya.

Andi Saputra, S.H, M.H Redaktur Hukum detikcom

 

Sumber: Orang Sederhana di Pucuk MA (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *