Meninjau UU ITE Setelah Dua Kali Revisi

Indonesia Menyapa, Jakarta – Pada 4 Januari 2024 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menyoroti adanya ketidakterbukaan proses revisi, sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.

Ketidakterbukaan ini menimbulkan suatu anggapan bahwa peraturan yang dibentuk hanya untuk menguntungkan segelintir orang yang memiliki kepentingan, seperti para elite. Dengan ketidakterbukaannya, revisi undang-undang ini tentu seperti menyampingkan perlindungan hak asasi manusia. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah hak untuk berpendapat dan mengekspresikan diri.

Sangat disayangkan, perubahan atas undang-undang ini tetap saja menggendong pasal-pasal karet seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal karet ini menghantui dan mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers bagi rakyat Indonesia, padahal Indonesia sebagaimana diketahui merupakan negara demokrasi.

 

Pasal Karet

Pasal karet merujuk kepada pasal yang yang tidak memiliki acuan hukum yang jelas, sehingga menimbulkan perdebatan dan kebingungan akan penafsirannya. Padahal hukum itu sendiri dibentuk untuk mengatur kehidupan manusia dan tentu dengan adanya pasal karet ini membuat kebingungan serta multitafsir, sehingga dalam pengimplementasiannya tentu akan ada permasalahan-permasalahan yang timbul.

Demikian dengan yang terjadi pada UU ITE ini, di mana ditemukan beberapa pasal karet, seperti Pasal 27A dan Pasal 27B (di mana pasal ini dianggap digunakan untuk mengkriminalisasikan rakyat karena ketentuan dalam dua pasal tersebut yang bersifat lentur atau multitafsir), Pasal 28 ayat 3 (pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini), dan Pasal 45A (pasal ini membiarkan kriminalisasi dan multitafsir).

Bahkan dengan revisi yang sudah dilakukan sebanyak dua kali, tetap saja UU ITE tidak menggantikan substansi yang sudah lama dipermasalahkan oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat tidak diikutsertakan dalam pembentukannya yang sudah pasti bertentangan dengan demokrasi. Padahal seharusnya politik hukum di negara demokrasi akan berusaha memberikan kesempatan luas keikutsertaan masyarakat dalam menentukan corak dan isi hukum yang dikehendaki.

 

Penegakan Hukum yang Baik

Berdasarkan uraian sebelumnya, menunjukkan dibungkamnya hak rakyat dalam berpendapat dan berekspresi melalui pasal karet yang tak kunjung diperbaiki. Masyarakat pun menjadi takut untuk bersuara mengenai penyimpangan yang terjadi di sekelilingnya dan takut untuk bersuara terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa, sebab khawatir dianggap sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik.

Padahal, sejatinya kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak setiap individu yang sejak dilahirkan telah dijamin. Sebagai bangsa yang telah lama merdeka seharusnya menunjukkan kedewasaannya dengan semakin dihormatinya kebebasan berpendapat dan berekspresi, namun sepertinya negara ini masih belum dewasa dalam hal demikian.

Tentu, kita mengharapkan adanya lagi revisi terhadap pasal karet ini dengan keterlibatan rakyat dan keterbukaan proses. Namun, melihat UU ini masih baru diperbaharui, tidak mungkin diperbaharui lagi dalam waktu yang singkat. Yang bisa kita harapkan sekarang adalah politik penegakan hukumnya. Menurut Prof Bagir Manan, keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung kepada penerapannya, dan putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen kontrol bagi ketetapan atau kekurangan suatu peraturan perundang-undangan.

Melalui putusan tersebut akan membuat peraturan perundang-undangan menjadi hidup dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan serta perkembangan masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan yang kurang baik pun akan tetap mencapai sasaran atau tujuan di tangan para penegak hukum yang baik.

Dalam hal ini, diharapkan para penegak hukum bisa lebih memperhatikan setiap tuduhan atau laporan agar tidak ada korban akibat salah penerapan pasal maupun korban dari orang yang memanfaatkan pasal untuk kepentingan sendiri. Sehingga, walaupun pasal karet ini tetap ada, tetapi dengan penegakan hukum yang baik, kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap bisa ditunjukkan oleh masyarakat dengan kepercayaan penuh kepada para penegak hukum yang akan memproses pelanggaran yang sesungguhnya, bukan karena kepentingan orang tertentu.

Sabrina Tio Larisha Marpaung mahasiswa Universitas Riau, sedang mengikuti Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Universitas Padjajaran

 

Sumber: Meninjau UU ITE Setelah Dua Kali Revisi (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *