Menimbang Kembali Mekanisme Tapera

Indonesia Menyapa, Jakarta — Presiden Joko Widodo telah meneken aturan baru pada 20 Mei 2024 lalu tentang Iuran Wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan baru tersebut memperbaharui golongan peserta iuran wajib Tapera yang kini melibatkan karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah –sebelumnya hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri,
serta karyawan BUMN.

Disebutkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 Pasal 15 bahwa besaran simpanan peserta ditetapkan 3% dari gaji atau upah peserta dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Besaran 3% ini di antaranya sebesar 2,5% berasal pekerja dan 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja. Sementara itu, untuk peserta pekerja mandiri seluruh simpanan ditanggung olehnya. Tapera dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2027.

Penetapan aturan ini ramai kritik dari berbagai pihak, disebabkan melihat kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini tengah lesu, sehingga penetapan aturan ini dinilai hanya akan menambah masalah baru dalam roda perekonomian Indonesia. Berikut telaah terhadap Tapera di tengah lesunya Ekonomi Indonesia. Pertama, beban
tambahan. Tapera dinilai hanya akan menambah beban.

Beberapa pihak yang menolak penetapan aturan ini di antaranya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo); Ketua Apindo Shinta Kamdani merasa keberatan dengan aturan ini dikarenakan saat ini beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24% hingga 19,74% dari penghasilan pekerja, sehingga iuran Tapera akan menambah pungutan baru bagi pemberi kerja.

Adapun dari sisi pekerja, aturan ini dirasa akan memberi beban tambahan terhadap beberapa masalah yang tengah dihadapi saat ini, di antaranya rendahnya upah, inflasi tinggi, dan harga pangan yang tinggi. Kekecewaan ini antara lain disampaikan oleh Presiden Dewan Pimpinan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPP ASPEK) Mirah Sumirat. Kekecewaan lain juga dikarenakan dalam merumuskan penetapan aturan, pemerintah tidak melibatkan kaum pekerja.

Kedua, pendapatan masyarakat yang terbatas. Mengutip laporan terbaru Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospect (IEP) edisi Desember 2023, prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah di Indonesia turun cukup signifikan pada periode 2019-2022, dari 14 persen menjadi 9 persen dari total lapangan kerja. Nasib pekerja kelas menengah mengalami kerentanan diakibatkan pekerjaan mereka yang sebagian besar berada di sektor informal.

Mengutip hasil tim jurnalisme data Harian Kompas, gaji yang pas-pasan dengan rata-rata sisa gaji dalam satu tahun rata-rata kelas menengah pada 2021 Rp 435.888 per bulan. Dengan sisa gaji ini, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan oleh masyarakat.
Kehadiran Tapera dengan mekanisme pemotongan upah pekerja akan semakin membatasi masyarakat dalam menggunakan pendapatannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari, sehingga akan terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berakibat kepada penurunan permintaan agregat dalam perekonomian. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan penurunan permintaan yang akan berimbas kepada penurunan produksi oleh perusahaan, yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah baru yakni terjadinya PHK lebih lanjut dan meningkatnya pengangguran.

Ketiga, ketidaksesuaian prioritas. Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang cukup mencengangkan yakni sebanyak 9,9 juta penduduk usia 15-25 tahun tidak terlibat dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan, yang artinya mereka menganggur. Data ini berdasarkan survei pada 2021 hingga 2022. Sangat disayangkan ketika tingginya angka pengangguran malah didominasi oleh penduduk usia kerja. Minimnya lapangan kerja dinilai menjadi salah satu alasan tingginya angka pengangguran.

BPS juga mencatat, hingga Agustus 2023 mayoritas tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal –sebanyak 59,11 persen. Sementara sisanya, 40,89 persen, pekerja di sektor formal. Tapera tidak menjawab masalah utama yang sedang terjadi saat ini. Solusi untuk menekan tingginya pengangguran seharusnya menjadi prioritas utama dalam agenda kebijakan pemerintah, sebab tingginya pengangguran akan berakibat kepada laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Keempat, mekanisme yang belum jelas. Tapera mengemban amanah berupa penyaluran pembiayaan perumahan layak dan terjangkau bagi peserta yang berbasis simpanan dengan berlandaskan gotong royong. Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 PP Nomor 21 tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tapera, ada empat hal yang menyebabkan keanggotaan Tapera berakhir, salah satunya peserta berusia 58 tahun bagi peserta pekerja mandiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafizh Meyzar (2023) tentang kondisi ketenagakerjaan pekerja lanjut usia menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja lansia memilih bekerja sebagai pekerja mandiri/wiraswasta informal. Menurut data yang dirilis BPS, Sakernas Agustus 2011-2020, sekitar 85% pekerja lansia berada pada skctor informal dengan tren stagnan. Jika saat ini pekerja mandiri lansia dini di usia 45 tahun, maka artinya hanya akan menjadi peserta Tapera selama 13 tahun saja.

Untuk masa tersebut dinilai kurang mampu untuk melunasi atau membeli satu rumah, dikarenakan umumnya cicilan rumah paling sedikit adalah 15 tahun. Belum lagi jika pekerja mandiri tersebut sudah memiliki rumah, rasanya kurang bijak jika aturan Tapera diberlakukan kepada semua pekerja dengan syarat yang telah ditetapkan. Hendaknya pemerintah mempertimbangkan kembali kejelasan mekanisme Tapera jika memang aturan ini sangat perlu diterapkan untuk pekerja di Indonesia.

Darajati pengamat ketenagakerjaan

 

Sumber: Menimbang Kembali Mekanisme Tapera (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *