Mengembalikan Keakraban Sosial Pasca Pemilu

Indonesia Menyapa, Jakarta – Keputusan sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah diumumkan. Pasangan Prabowo-Gibran telah resmi dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2024. Pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan nomor urut 02 ini kemudian diresmikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Semestinya polarisasi politik pun telah mereda dan segala pertengkaran akibat perbedaan orientasi politik berakhir.

Sayangnya, meski pesta demokrasi telah selesai, keakraban sosial tidak serta merta membaik begitu saja. Jejak-jejak polarisasi masih terlihat dari pertengkaran komentar-komentar media sosial. Saling serang masih saja terjadi. Semua pihak merasa paling benar, seolah kebenaran itu memihak dan monopoli kubu tertentu. Kondisi semacam ini diperparah dengan statement beberapa elite politik yang masih belum menerima hasil pemilu.

 

Harus Kita Hormati

Dalam demokrasi, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan bahkan diharapkan. Latar belakang masyarakat yang beragam, dengan kekayaan budaya dan perspektif yang berbeda-beda, memungkinkan adanya keragaman pilihan politik. Namun, penting untuk diingat bahwa perbedaan-perbedaan ini tidak seharusnya mengurangi kehangatan sosial kita. Kita harus menjaga semangat persatuan dan kesatuan, terutama setelah pesta demokrasi berakhir. Siapa pun yang terpilih sebagai pemenang, itulah suara mayoritas rakyat yang harus kita hormati dan terima dengan lapang dada oleh semua pihak.

Upaya beberapa tokoh menyingkirkan egosektoral dengan saling bersilaturahmi dan membuka diri, sejatinya mencerminkan kedewasaan seorang elite politik. Langkah ini tidak hanya memperkuat fondasi demokrasi, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai kebersamaan. Dengan meletakkan kepentingan bersama di atas segalanya, mereka menunjukkan bahwa politik bukan sekadar pertarungan kekuasaan, melainkan wadah untuk mewujudkan aspirasi rakyat.

Politik adalah ekosistem yang penuh dinamika, di mana realitas yang terus berubah memerlukan sikap yang sama dinamisnya. Para elite politik harus menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi yang ada. Contoh nyata dari praktik kedewasaan dalam politik terlihat ketika Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjadi rival Joko Widodo dalam Pemilu 2019, akhirnya bergabung dengan pemerintahan sebagai Menteri Pertahanan. Hal serupa juga terjadi pada Sandiaga Uno, yang kini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Fenomena seperti para kader yang berganti partai politik juga merefleksikan sifat politik yang tidak statis. Perubahan-perubahan ini menegaskan bahwa politik bukanlah sebuah entitas yang kaku, melainkan sebuah proses yang terus menerus bergerak.

Kedewasaan para elite politik semacam ini diharapkan dapat diikuti oleh para simpatisan, terutama di akar rumput. Perbedaan bukanlah penghalang, melainkan khazanah yang memperkaya bangsa. Dengan memelihara sikap saling menghormati, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan demokratis. Kita harus menyadari, pemilu bukan hanya tentang menang dan kalah. Lebih dari itu, pemilu adalah momen di mana kita berpartisipasi dalam menentukan arah masa depan negara. Setiap suara memiliki nilai dan kontribusi yang sama pentingnya, terlepas dari hasil akhirnya.

 

Memfasilitasi Dialog

Selain para elite politik, media memegang peran penting dalam mengembalikan keakraban sosial kita, terutama pasca pemilu ini. Media sebagai pilar demokrasi harus berkomitmen pada penyajian berita yang objektif dan tidak memihak, sehingga membantu publik memahami isu dari berbagai sudut pandang. Dalam menjalankan fungsi sebagai pengawas publik, media harus mengkritisi kebijakan dan tindakan pemerintah serta elite politik dengan tujuan konstruktif, bukan untuk memperkeruh suasana. Media juga harus menjadi forum inklusif yang memfasilitasi dialog antarmasyarakat, mendorong pertukaran ide yang sehat, dan mengurangi ketegangan sosial.

Dengan memberikan edukasi yang efektif, media dapat membimbing masyarakat untuk bersikap lebih rasional dan tidak terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan. Netralitas media merupakan fondasi dari jurnalisme yang bertanggung jawab dan kredibel. Tanpa netralitas, berita berisiko menjadi alat propaganda yang mendorong agenda tertentu, yang pada gilirannya dapat memperdalam polarisasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap media. Media harus berupaya untuk menyajikan fakta dengan jujur dan tidak memihak, memberikan kesempatan kepada pemirsa untuk membuat penilaian sendiri berdasarkan informasi yang akurat dan lengkap.

Tantangan muncul ketika banyak kanal media, termasuk Youtube dan akun media sosial, yang cenderung menyajikan realitas hanya dari satu perspektif, seringkali hanya menjelekkan atau memuji satu pihak. Fenomena ini menjerumuskan banyak orang ke dalam echo chamber, di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, sehingga mempersulit pemahaman terhadap perspektif yang berlawanan dan meningkatkan risiko konflik. Pengawasan yang ketat terhadap media sosial dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan adalah kunci untuk menjaga integritas informasi.

Pemilu telah selesai dan hasilnya telah diputuskan. Mari kita bersatu kembali, bergandeng tangan untuk mengejar kemajuan bangsa ini. Sinergi antara elite politik dan media sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemulihan keakraban sosial pasca pemilu. Elite politik harus menjadi contoh dalam praktik politik yang etis dan konstruktif, menghindari retorika yang memecah belah. Sementara itu, media harus bertindak sebagai mediator yang objektif, menyajikan informasi yang seimbang dan akurat, serta memberikan ruang bagi suara-suara moderat yang mendukung rekonsiliasi.

 

Sumber: Mengembalikan Keakraban Sosial Pasca Pemilu (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *