Indonesia Menyapa, Jakarta – Mandat pemberian insentif pajak bagi Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) muncul sejak 2021. Lebih tepatnya, sejak Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (PP 11/2021) diundangkan pada 2 Februari 2021. Pasal 70 PP 11/2021 memberi kewenangan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan insentif dan kemudahan perpajakan serta retribusi bagi BUM Desa/BUM Desa Bersama. Namun demikian, hingga saat ini insentif dan kemudahan pajak dan retribusi yang dijanjikan tersebut masih jauh panggang dari api.
Dalam satu kesempatan, otoritas pajak menegaskan bahwa Bumdes dapat menggunakan tarif pajak penghasilan final 0,5% sebagaimana yang digunakan UMKM. Rujukan dari perlakuan ini terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Namun demikian, persamaan perlakuan pajak Bumdes dengan UMKM tersebut bukan jawaban yang dicari Bumdes.
Aturan yang termuat dalam PP 55/2022 tak lebih dari penegasan bahwa Bumdes juga termasuk dalam kategori wajib pajak badan sebagaimana koperasi persekutuan komanditer, firma atau perseroan terbatas yang dapat menggunakan tarif PPh Final asal omzetnya tidak melebihi Rp4.800.000.000, 00.
Opsi lain yang juga disarankan adalah menggunakan tarif pajak penghasilan Pasal 31E Undang-Undang PPh yang mana memberikan potongan tarif pajak sebesar 50% dari tarif yang berlaku saat ini. Meski demikian, fasilitas ini hanya diberikan kepada wajib pajak yang sudah melakukan pembukuan dengan baik sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Kekhasan Bumdes
Bumdes lahir dari semangat menyejahterakan masyarakat desa secara kolektif sebagaimana tercermin dalam Nawacita, khususnya Nawacita ketiga yang menggaungkan “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan.” Keberadaannya yang dikelola desa dimaksudkan sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum di pedesaan yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya PP 11/2021, meski beberapa penggiat desa berpendapat mestinya dikuatkan dalam bentuk Undang-Undang Bumdes.
Menilik PP 11/2021, Bumdes memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh badan usaha yang lain. Jelas tersirat dalam PP 11/2021 bahwa Bumdes diciptakan dengan tujuan tidak semata mencari laba. Ada tujuan sosial di sana, sebut misalnya kegiatan pelayanan umum. Ini merupakan pembeda utama dengan badan usaha yang lain karena ada fungsi menghadirkan institusi negara di pedesaan (Kemendesa, 2015). Corak khas dari tujuan dan fungsi Bumdes ini yang kemudian juga melahirkan model bisnis yang juga khas, tidak sama dengan badan usaha yang masuk kategori UMKM.
Kita lihat misalnya komposisi modal Bumdes yang mana sebagian besar modal, minimal 51% berasal dari APBDes. Komposisi modal ini berimplikasi bahwa hasil usaha Bumdes wajib memberi kontribusi pada pendapatan asli desa atau masuk kembali ke APBDes. Ada mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara di sana. Sampai pada titik ini, maka manakala perlakuan pajak Bumdes disamakan dengan pelaku UMKM, sejatinya belumlah tepat.
Aneka Bentuk Insentif
Merujuk Organisation for Economic Co-operation and Development (2011), insentif pajak dapat dipandang sebagai suatu perlakuan pajak pada suatu kelompok subjek pajak tertentu yang berbeda dari ketentuan yang umum berlaku. Muara dari pembedaan perlakuan ini adalah berkurangnya beban pajak pada subjek pajak tersebut sehingga memiliki daya ungkit ekonomi.
Terdapat aneka ragam bentuk insentif pajak bagi badan usaha. Sebut misalnya tax holidays, penurunan tarif pajak, percepatan depresiasi aset tetap, pengecualian dari pengenaan pajak dan masih banyak yang lainnya. Pemberian insentif pajak memperoleh justifikasinya manakala dengan adanya kebijakan fiskal yang diberikan, perekonomian dapat semakin bertumbuh.
Berkaitan dengan Bumdes sebagai pilar utama penggerak ekonomi desa, insentif pajak bagi Bumdes menemukan urgensinya. Sejauh ini, Bumdes sebagai salah satu bentuk badan usaha masih berproses untuk menemukan bentuknya yang paling ideal sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Aneka ragam aturan masih terus menerus dibenahi Kemendesa dan PDTT dalam rangka menguatkan Bumdes. Maka alih-alih memajaki Bumdes yang masih terlalu belia untuk memberikan keuntungan, akan lebih berdaya guna apabila penguatan tumbuh kembang Bumdes melalui pemberian insentif pajak.
Beberapa opsi insentif pajak dapat diberikan baik secara terpisah maupun secara bersamaan. Insentif pajak yang mungkin ditawarkan; pertama, memberikan pembebasan pajak penghasilan bagi Bumdes yang sedang merintis usaha sampai Bumdes aktif berproduksi dengan jangka waktu maksimal lima tahun. Jamak terjadi Bumdes tidak mampu bertahan hidup karena keterbatasan sumber daya manusia, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Maka pembebasan pajak menjadi penting sebagai upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif agar Bumdes dapat berfokus pada pengembangan kapasitas SDM serta mengokohkan usahanya terlebih dahulu. Pemajakan dapat dimulai ketika Bumdes sudah mulai aktif berproduksi atau menghasilkan pendapatan.
Kedua, bagi Bumdes yang sudah mulai berproduksi diperkenankan menggunakan tarif PPh Final 0,5% hingga lima tahun. Berdasarkan pengamatan di lapangan, Bumdes membutuhkan waktu lebih panjang untuk dapat membuat pembukuan sesuai dengan standar akuntansi. Jangka waktu lima tahun diharapkan cukup memberi kesempatan bagi Bumdes untuk mempersiapkan pembukuan yang baik untuk kemudian masuk dalam sistem pajak yang berlaku umum.
Ketiga, pembebasan pajak atas barang modal yang diterima dari hibah, dibeli ataupun diimpor Bumdes. Sebagaimana diketahui, modal utama Bumdes berasal dari APBDes. Selain itu dimungkinkan juga adanya modal hibah dari pemerintah atau pihak ketiga. Adanya pembebasan pajak atas barang modal bagi Bumdes yang sedang mulai merintis usaha akan mempercepat penguatan kapasitas Bumdes dalam menjalankan unit usahanya. Pembebasan pajak ini juga mempertimbangkan asas daya pikul dan keadilan yang mana modal Bumdes masih sangat kecil dan terbatas.
Keempat, pembebasan PPN kegiatan membangun sendiri. Pada prinsipnya, kegiatan membangun sendiri merupakan bagian dari pengembangan barang modal. Banyak Bumdes yang bergerak di bidang pariwisata, secara umum menggunakan aset desa untuk dikembangkan. Adanya PPN membangun sendiri berpotensi menambah beban dalam upaya mengembangkan bisnis Bumdes mengingat pajak ini dikenakan sebelum Bumdes mampu berproduksi.
Kelima, membebaskan pembagian hasil usaha Bumdes dari pengenaan pajak penghasilan. Istilah hasil usaha Bumdes belum dikenal dalam aturan perpajakan. Selama ini aturan pajak mengkategorikan sisa hasil usaha koperasi sebagai bukan obyek pajak penghasilan, namun tidak menyebutkan sisa hasil usaha Bumdes. Maka sudah saatnya memasukkan terminologi hasil usaha Bumdes dalam aturan pajak serta menggolongkannya sebagai bukan obyek pajak penghasilan bagi penerimanya. Pengecualian ini memiliki arti penting mengingat hasil usaha Bumdes sebagian besar kembali ke APBDes. Adanya pembebasan pajak bagi hasil usaha Bumdes juga diharapkan membawa dampak positif bagi masyarakat untuk mau berinvestasi di Bumdes.
Penutup
Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang besar adanya insentif pajak bagi investor, namun Bumdes sepertinya luput dari perhatian. Maka untuk mengakomodasi ragam insentif pajak, pemerintah dapat menerbitkan peraturan, idealnya peraturan menteri keuangan, yang menegaskan adanya perlakuan khusus perpajakan bagi Bumdes. Peraturan Menteri Keuangan tersebut akan menjadi wujud nyata pelaksanaan Pasal 70 PP 11/2021 sekaligus melengkapi kekosongan perhatian UU Cipta Kerja pada pengembangan usaha desa. Diharapkan dengan adanya kepastian hukum dan insentif perpajakan, Bumdes menjadi lebih berdaya guna berkontribusi membangun Indonesia dari desa.
A. Ragil Kuncoro dosen Politeknik Keuangan Negara STAN, pemerhati Bumdes
Sumber: Mengakomodasi Ragam Insentif Pajak Bumdes (detik.com)