Membayangkan Jakarta Pasca-Ibu Kota

Indonesia Menyapa, Jakarta – Apa yang akan terjadi pada Jakarta setelah tidak lagi menyandang status ibu kota?

DPR bersama pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang mengubah status Jakarta dari Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta. Terlepas dari segala pro-kontranya, proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) telah berlangsung.

Satu hal yang tidak banyak terbahas dalam diskursus pemindahan ibu kota adalah bagaimana nasib dari berbagai mantan ibu kota di negara-negara yang melakukan perpindahan ibu kota. Padahal, memahami apa yang terjadi pada kota-kota tersebut begitu penting sebagai referensi bagi Jakarta pasca-ibu kota.

Terlepas dari status ibu kotanya, Jakarta adalah tempat tinggal bagi lebih dari 10 juta penduduk Indonesia. Bahkan, lebih dari 30 juta penduduk di kawasan aglomerasi Jabodetabekpunjur menggantungkan penghidupannya di megapolitan ini. Tidak hanya itu, kawasan aglomerasi ini berkontribusi kurang lebih satu per empat dari ekonomi nasional. Peran Jakarta begitu vital.

Artikel ini akan menelaah apa yang terjadi pada tiga mantan ibu kota dari tiga negara berbeda: Rio de Janeiro di Brazil, Karachi di Pakistan, dan Lagos di Nigeria.

Rio de Janeiro merupakan ibu kota Brazil sejak abad ke-18 hingga dilakukan relokasi ibu kota ke Brasilia pada 1960. Pada 1967, Pakistan juga memindahkan ibu kotanya dari Karachi ke Islamabad. Adapun Lagos merupakan ibu kota dari Nigeria sebelum dilakukan pemindahan ibu kota ke Abuja pada 1991.

Kesamaan dari tiga kota ini dengan Jakarta adalah bahwa ibu kota baru negara-negara tersebut berjarak ratusan hingga seribuan kilometer dari ibu kota lama, sehingga tidak ada ikatan ketergantungan antara keduanya (berbeda dengan, misalnya, Kuala Lumpur dengan Putrajaya di Malaysia yang hanya berjarak sekitar 25 kilometer). Sehingga ibu kota lama harus bertahan tanpa mengandalkan sentralitas sebagai dan dari ibu kota negara sama sekali.

Apa yang terjadi pada kota-kota mantan ibu kota tersebut?

Terus Menjadi Magnet Pertumbuhan

Pola pertama yang dapat dilihat dari tiga kota mantan ibu kota tersebut adalah bahwa meskipun status ibu kota negara telah dicabut dan dipindahkan ke kota baru yang berjarak ratusan bahkan seribuan kilometer, Rio de Janeiro, Karachi, dan Lagos terus mengalami pertumbuhan pesat dan menjadi magnet perekonomian negaranya.

Pada 1960, saat ibu kota dipindahkan, populasi Rio de Janeiro hanya sebesar 5 juta jiwa. Kini, area metropolitan Rio de Janeiro dihuni hingga lebih dari 13 juta lebih penduduk. Begitupun dengan Karachi, yang bertumbuh dari 2,6 juta penduduk pada 1967 saat ibu kota dipindahkan menjadi lebih dari 17 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk yang begitu besar.

Apa yang terjadi pada Lagos bahkan lebih mencenangkan. Dalam 30 tahun lebih sejak ibu kota dipindahkan pada 1991, populasi Lagos bertumbuh dari 5,7 juta menjadi lebih dari 16,5 juta penduduk. Bahkan, beberapa lembaga internasional mengestimasikan bahwa penduduk metropolitan Lagos sebenarnya telah mencapai lebih dari 24 juta jiwa.

Melihat pesat dan besarnya pertumbuhan penduduk yang terjadi di tiga kota tersebut memberi kita pemahaman bahwa pelepasan status ibu kota tidak berpengaruh terhadap tren pertumbuhan.

Dari segi perekonomian, dapat dilihat pola yang serupa. Kontribusi perekonomian Karachi dan Lagos terhadap PDB nasional Pakistan dan Nigeria, masing-masing mencapai sekitar 25% dan 30%. Dengan kata lain, lebih dari seperempat sampai dengan sepertiga dari perekonomian Pakistan dan Nigeria disumbangkan oleh Karachi dan Lagos, yang merupakan mantan ibu kota masing-masing negara. Rio de Janeiro pun terus menjadi tumpuan perekonomian Brazil bersama kota megapolitan lainnya, Sao Paulo. Rio de Janeiro menyumbangkan kontribusi lebih dari 10% terhadap PDB Brazil, nomor dua setelah Sao Paulo.

Sentralitas sebagai pusat pertumbuhan penduduk maupun kontribusi perekonomian dari mantan ibu kota tetap tidak tergantikan meskipun status ibu kota sudah tidak disandang. Lebih dari itu, sebagaimana kasus Rio de Janeiro dan Karachi, sentralitas tersebut bahkan belum tergantikan meskipun pemindahan ibu kota telah berlangsung sekitar 60 tahun yang lalu.

Tetap Menghadapi Permasalahan yang Sama

Satu kesamaan antara Jakarta dengan tiga kota eks ibu kota tersebut adalah bahwa kota-kota tersebut sama-sama menghadapi permasalahan urban yang begitu pelik, mulai dari kemacetan, kepadatan, kekumuhan, permasalahan lingkungan hidup, dan masalah urban lainnya. Permasalahan tersebut dianggap sudah begitu pelik hingga tidak dapat lagi dipecahkan, kecuali dengan cara mengurangi “beban” yang diemban, yang tidak lain dengan memindahkan status ibu kota.

Tetapi, apa yang terjadi pada Rio de Janeiro, Karachi, dan Lagos yang “beban” sebagai ibu kota telah diangkat sejak 1960-an dan 1990-an? Ternyata, kota-kota itu tetap menghadapi masalah yang sama meski telah puluhan tahun lepas dari “beban” sebagai ibu kota.

Global Liveability Index 2023 dari Economist Intelligence Unit menempatkan Karachi dan Lagos di posisi 10 kota terbawah dalam hal kelayakan hidup (liveability). Kedua kota tersebut berada di urutan 169 dan 170 dari 173 kota yang disurvei. Indeks ini menilai kualitas infrastruktur, lingkungan hidup, kesehatan, budaya, pendidikan, dan stabilitas dari kota-kota. Lepasnya beban peran sebagai ibu kota tidak membuat kedua kota ini lebih dapat menyelesaikan permasalahan urban yang dihadapinya.

Dalam kasus Rio de Janeiro, kita dapat melihat, misalnya, dari persistensi isu ketimpangan spasial yang terus menjadi salah satu permasalahan utama kota tersebut sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ketimpangan spasial tersebut terwujudkan dalam hadirnya permukiman informal yang disebut favelas yang menyebar di penjuru kota, hingga ke bukit-bukit perbatasan kota. Fahlberg (2018) menggambarkan bagaimana ketimpangan akses terhadap infrastruktur dan utilitas kota antara favelas yang didominasi oleh kelas bawah, dengan area kota lain yang dihuni oleh kelas menengah dan menengah-atas.

Pertumbuhan cepat favelas salah satunya akibat arus deras migrasi yang terjadi dari desa-desa di pedalaman Brazil ke Rio de Janeiro sebagai ibu kota kala itu–mirip sebagaimana arus migrasi dari desa-desa sepenjuru Indonesia ke Jakarta yang kemudian mengisi kampung-kampung kota Jakarta.

Setelah status ibu kota dipindahkan dari Rio de Janeiro ke Brasília pada 1960, nyatanya favelas terus bertumbuh. Jika pada 1950an jumlah penduduk kota yang tinggal di favelas sekitar 7%, angka terakhir menunjukkan jumlah tersebut bertambah menjadi lebih dari 22% (Brazilian Institute of Geography and Statistics, 2010). Ketimpangan spasial terus terjadi, bahkan meluas.

Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi kota-kota saat menjadi ibu kota tidak lantas hilang saat status ibu kota tersebut dipindahkan.

Jakarta Akan Tetap Menjadi Strategis

Apa yang dapat dipelajari Jakarta dari Rio de Janeiro, Karachi, dan Lagos yang telah menjalani fase ‘pasca-ibu kota’?

Pertama, penting untuk disadari bahwa perpindahan status ibu kota tidaklah menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi Jakarta. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan di atas, Karachi dan Lagos yang telah melepaskan status ibu kota mereka selama puluhan tahun, namun tetap berada di peringkat terbawah dalam global liveability index.

Menariknya, Jakarta yang masih berstatus ibu kota dengan segala “beban”-nya pada saat penilaian indeks dilakukan, justru mengalami peningkatan peringkat yang signifikan. Jakarta naik 14 posisi dari peringkat 153 menjadi 139 dalam daftar kota layak huni secara global.

Maka dari itu, argumen yang sering digunakan untuk mendukung pemindahan ibu kota ke IKN, yakni bahwa Jakarta telah terlalu banyak “beban” dan pemindahan status ibu kota akan mengurangi beban tersebut, perlu untuk diperiksa ulang. Kenyataannya, baik sebagai ibu kota maupun tidak, Jakarta akan tetap dihadapkan pada masalah kemacetan, banjir, kepadatan, dan masalah urban lain yang harus diselesaikan oleh Jakarta sendiri.

Yang kedua, perlu dipahami bahwa meskipun status ibu kota Jakarta dicabut dan dipindahkan ke IKN, peran sentral Jakarta sebagai pusat pertumbuhan dan perekonomian akan sulit tergantikan. Seperti halnya Rio de Janeiro, Karachi, dan Lagos, dapat diperkirakan bahwa Jakarta akan tetap menjadi pusat pertumbuhan dan perekonomian sekian periode ke depan sebagaimana tiga kota tersebut.

Dengan demikian, meskipun ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke IKN, Jakarta akan tetap memegang posisi yang begitu penting bagi Indonesia. Dengan segala kompleksitas dan tantangan yang dihadapinya, Jakarta akan terus menjadi katalisator utama bagi pembangunan nasional.

Berstatus ibu kota ataupun tidak, Jakarta akan tetap menjadi strategis.

M. Azka Gulsyan alumnus Ilmu Pembangunan Berkelanjutan The University of Tokyo

 

Sumber: Membayangkan Jakarta Pasca-Ibu Kota (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *