Indonesia Menyapa, Jakarta – Mungkinkah Indonesia meminimalisasi algoritma bias politik dari pengguna anonim di media sosial sejak tahap awal hingga hasil pemilihan umum selanjutnya? Dan, jika hal itu terjadi, apakah bias akan benar-benar memiliki pengaruh dengan mengurangi polarisasi? Bersamaan dengan banyaknya percakapan positif, ada juga ujaran kebencian dan disinformasi berdasarkan agama dan ras (Tapsell, 2019; Lim, 2017).
Saat ini, pasca pemilihan umum presiden dan legislatif di Indonesia, masalah informasi yang bias di media sosial masih menjadi sorotan tajam. Tidak diragukan lagi, perkembangan media sosial telah mengubah cara penyebaran informasi, terutama pada saat-saat penting seperti pemilihan presiden. Namun, ada kekhawatiran serius tentang penyebaran informasi yang bias dari pengguna di platform media sosial dan potensinya untuk mempengaruhi opini publik dan perdebatan politik. Saya melihat bagaimana fenomena ini mempengaruhi demokrasi, kohesivitas sosial, dan arah teknologi wacana online mengingat kompleksitasnya.
Individu Anonim
Anonim adalah individu yang tanpa nama dan tidak dapat diidentifikasi. Individu ini percaya bahwa teknologi dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik. Komentar rasis, seksis, dan homofobia sering dilontarkan oleh individu anonim. Etos anonim yaitu teknologi digital yang dirayakan sebagai kekuatan yang membentuk masyarakat dan juga cara hidup para pengikutnya.
Media sosial adalah platform teknologi digital, di mana alat yang efektif untuk mempengaruhi opini publik karena berfungsi sebagai ekosistem virtual di mana berbagai perspektif berkumpul. Namun, ketiadaan undang-undang yang ketat memungkinkan konten politik partisan berkembang biak, yang sering digunakan untuk mendukung narasi kelompok dan menyebarkan informasi palsu. Bias ini bisa muncul dalam berbagai bentuk dalam konteks pemilihan umum, mulai dari keberpihakan algoritma hingga manipulasi yang disengaja oleh orang-orang dan kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.
Bias algoritma jaringan media sosial telah menjadi bahan diskusi yang terus menerus. Orang-orang yang terpapar dengan konten yang sesuai dengan nilai-nilai mereka secara tidak sengaja diproduksi oleh algoritma ini, yang dimaksudkan untuk mempersonalisasi konten berdasarkan preferensi pengguna. Karena banjirnya materi yang memenuhi preferensi politik pengguna setelah pemilu, bias algoritma secara signifikan berkontribusi pada penguatan perpecahan kelompok.
Sebagai contoh, pada 2011, penelitian dari Microsoft Research, Redmond dan Stanford University yang mengeksplorasi perilaku menunjukkan mayoritas orang menggunakan platform media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk membuat pertanyaan berulang tentang tokoh-tokoh politik dan peristiwa-peristiwa untuk memicu lebih banyak percakapan tentang topik-topik yang mereka buat. Hal ini dapat memperkuat bias konfirmasi karena banyaknya tanggapan dari pengguna anonim, sehingga semakin mempolarisasi percakapan dan merusak kepercayaan terhadap sumber informasi yang tidak bias.
Proses demokrasi sangat terancam oleh penyebaran informasi palsu yang tidak terkendali di media sosial oleh individu-individu anonim. Narasi palsu dan teori konspirasi menyebar luas di platform media sosial selama Pilpres 2024, menyebarkan ketidakpastian dan perpecahan di antara para pemilih. Media sosial menjadi lahan subur bagi keluhan-keluhan yang tidak berdasar, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan membahayakan integritas proses politik.
Tuduhan-tuduhan ini berkisar dari klaim kecurangan pemilu yang tidak berdasar hingga kontroversi yang dibuat-buat yang ditujukan kepada kandidat tertentu. Selain itu, kecepatan peredaran informasi palsu memperlihatkan kekurangan protokol penyaringan konten yang ada saat ini, yang mengarah pada tuntutan peningkatan keterbukaan dan tanggung jawab dari perusahaan-perusahaan digital.
Ancaman utama terhadap wacana demokrasi adalah penyebaran konten yang bias di media sosial. Platform-platform ini melemahkan cita-cita pluralistik dan keterlibatan warga negara yang sangat penting bagi demokrasi yang kuat dengan meningkatkan narasi politik dan membungkam suara-suara pembangkang.
Selain itu, persepsi publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi didorong oleh disinformasi yang disebarkan dan menurunnya kepercayaan terhadap sumber-sumber media konvensional. Dampak prasangka politik yang tak terkendali di media sosial menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika hukum dan sistem akuntabilitas yang kuat tidak tersedia.
Memerangi Efek Bias
Sebuah strategi beragam yang melibatkan inovasi teknologi, program pelibatan masyarakat, dan reformasi kebijakan diperlukan untuk memerangi efek bias politik di media sosial. Legislator harus, pertama dan terutama, membuat rancangan undang-undang yang luas yang membuat perusahaan media sosial bertanggung jawab atas penyebaran materi yang merusak dan penuh prasangka di jaringan mereka.
Hal ini mencakup penerapan prosedur kontrol konten, membuat pengambilan keputusan algoritma yang lebih transparan, dan menghukum organisasi yang melanggar pedoman moral. Perusahaan teknologi juga harus memberikan prioritas utama untuk mengembangkan algoritma yang dapat mengurangi dampak ruang gema dan menyoroti sudut pandang lain, menciptakan ruang online yang lebih ramah yang mendorong percakapan yang bermanfaat.
Selain itu, agar pengguna dapat membedakan antara realitas dan fiksi serta menavigasi dunia digital dengan aman, kegiatan edukasi yang mempromosikan literasi media, dan keterampilan berpikir kritis sangatlah penting. Kita dapat mengurangi dampak dari konten yang bias dan mengembangkan pemilih yang terdidik dan tangguh dengan memberikan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menilai informasi secara kritis dan berpartisipasi dalam percakapan yang etis.
Selain itu, upaya kerja sama yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor komersial sangat penting dalam melawan penyebaran informasi palsu dan mendukung kampanye literasi digital di seluruh dunia. Terakhir, meningkatnya bias politik di media sosial setelah pemilihan presiden menyoroti kebutuhan mendesak akan perubahan besar untuk melindungi kebebasan berbicara dan memajukan integritas informasi online.
Kita dapat mengurangi efek polarisasi dari materi yang bias dan melestarikan nilai-nilai demokrasi di era digital dengan mengatasi penyebab prasangka algortima, mencegah penyebaran informasi yang salah, dan mendorong budaya literasi media. Hanya melalui upaya bersama dan tindakan bersama, kita dapat memastikan bahwa platform media sosial berfungsi sebagai sarana debat yang terinformasi, keterlibatan sipil, dan partisipasi demokratis, bukan sebagai saluran polarisasi partisan dan misinformasi.
Herdin Arie Saputra researcher and PhD student in Political Institutions, Processes and Technologies, Ural Institute of Humanities, Ural Federal University named after the first President of Russia B. N. Yeltsin, Russian Federation
Sumber: Media Sosial dan Bias Politik Pascapilpres (detik.com)