Kebijakan Penguatan Restorative Justice di Indonesia

Indonesia Menyapa, Jakarta – Penyempurnaan pengaturan restorative justice mendesak untuk segera dilakukan. Selain manfaat yang telah dirasakan, pengaturan restorative justice juga perlu dikuatkan karena merupakan suatu kebutuhan hukum yang perlu diatasi.

Penulis telah menguraikan secara sederhana makna dan tujuan restorative justice dalam tulisan berjudul “Strategi Penguatan Mekanisme Restorative Justice” (detik.com, 1/1/2024). Penulis menjelaskan restorative justice penting diperkuat untuk menyembuhkan dan memulihkan korban dan keadaan, lebih dari sekedar menyelesaikan kasus. Artinya, menyelesaikan kasus itu satu hal penting, tetapi yang lebih penting adalah memulihkan kondisi atau kerugian yang dialami korban dan memulihkan keadaan yang rusak. Itulah kenapa Penulis selalu mengatakan bahwa restorative justice itu lebih dari sekedar mediasi atau perdamaian.

Penyelesaian kasus berupa penghentian perkara hanyalah “buah” yang didapat setelah korban disembuhkan atau dipulihkan, dan pelaku telah melaksanakan tanggung jawabnya, dan korban maupun pelaku serta keluarga masing-masing saling memaafkan. Mengingat pentingnya restorative justice, idealnya diterapkan pada semua tahap sistem peradilan pidana, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan.

ECOSOC Res. 2000/14 juga telah mengatur bahwa “restorative justice programmes should be generally available at all stages of the criminal justice process“. Praktik di negara lain juga dilakukan pada setiap tahap sistem peradilan pidana, seperti di Jamaika, Belanda, dan Kanada (Jean Calvijn Simanjuntak, 2023). Restorative justice di Indonesia juga telah diterapkan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana. Masing-masing lembaga penegak hukum telah membuat peraturan teknis sebagai landasan hukum penerapan restorative justice. Namun, dibutuhkan pengaturan yang kuat melalui peraturan yang lebih tinggi untuk menyempurnakan regulasi tersebut di atas.

Restorative justice merupakan metamorfosa kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia. Sebagaimana telah Penulis uraikan dalam tulisan sebelumnya, nilai-nilainya telah hidup lama dan berakar pada masyarakat tradisional bangsa Indonesia untuk menjaga kehidupan bermasyarakat yang harmonis (Jean Calvin Simanjuntak, detik.com, 16/04/2024). Meski demikian, mengingat pentingnya keseragaman dan kesatuan penerapan, nilai-nilai restorative justice tersebut perlu dilembagakan dalam bentuk peraturan tertulis. Dalam buku “Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia”, Penulis telah menguraikan secara rinci langkah-langkah kebijakan yang perlu disusun oleh pemerintah untuk menguatkan pengaturan penerapan restorative justice di Indonesia.

Langkah Kebijakan Permanen

Dalam perspektif law making, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengadopsi konsepsi restorative justice dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini penting untuk memberikan landasan norma dan kepastian hukum yang dapat diterapkan pada semua tahap peradilan pidana.

Adapun hal yang perlu diatur dalam KUHAP antara lain: definisi dan tujuan restorative justice, yang mengutamakan pemulihan korban dan keadaan serta mendorong tanggung jawab pelaku. Selain itu, KUHAP juga harus tegas mengatur pembatasan dan kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice.

Aspek yang perlu diatur dalam KUHAP juga antara lain menegaskan bahwa restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan tindak pidana (residivis), dapat diterapkan pada setiap tahap proses peradilan pidana, diterapkan secara sukarela dan berdasarkan kesepakatan pelaku dan korban. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan diberi kewenangan sebagai mediator dan fasilitator.

Langkah kebijakan strategis

Penulis menyadari, mengubah KUHAP membutuhkan waktu lama, sedangkan restorative justice sangat penting untuk segera diatur. Pemerintah perlu menyusun peraturan pemerintah (PP) tentang restorative justice sebagai peraturan pelaksana KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini. Banyak peraturan dalam KUHAP dan KUHP maupun peraturan perundang-undangan di luar KUHAP dan KUHP yang mengandung nilai-nilai restorative justice.

Adapun hal yang diatur dalam PP tersebut antara lain: definisi dan tujuan restorative justice, jenis tindak pidana maupun pengaturan restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan tindak pidana (residivis). Selain itu, PP restorative justice perlu mengatur penerapannya pada setiap tahap sistem peradilan pidana, diselenggarakan dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak dan hanya memuat kewajiban yang wajar dan proporsional. Baik korban maupun pelaku tidak boleh dibujuk dengan cara yang tidak adil untuk berpartisipasi dalam proses atau hasil restoratif.

PP juga perlu mengatur kualifikasi, pelatihan/pendidikan, dan penilaian (assessment) fasilitator dan mediator, serta mengatur terkait administrasi proses restorative justice. Pencatatan penyelesaian perkara tindak pidana melalui mekanisme restorative justice harus dilakukan secara tertib dan sistematis, bahkan harus dicatat dalam sistem elektronik. Pencatatan secara elektronik sangat penting dilakukan untuk memudahkan koordinasi, jangan sampai pelaku pengulangan tindak pidana diikutkan dalam program restorative justice.

Peraturan teknis juga perlu mengatur mekanisme konsultasi dan koordinasi antara administrator restorative justice, fasilitator dan mediator, pimpinan lembaga masing-masing agar memiliki pemahaman serta informasi yang sama terkait perkembangan dan/atau hasil pelaksanaan restorative justice, atau bahkan menemukan cara atau jalan yang terbaik dalam mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapi selama melaksanakan program restorative justice. Selain itu, perlu diatur standar kompetensi, etika, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan program restorative justice.

Langkah Kebijakan Operasional

Untuk jangka pendek, perlu disusun Surat Keputusan Bersama (SKB) antara subsistem dalam sistem peradilan pidana. SKB ini hanya bersifat sementara, sambil mendorong agar dibentuk peraturan yang lebih tinggi yang mengikat semua lembaga penegak hukum.

Adapun hal yang perlu diatur dalam SKB, yaitu: definisi dan tujuan restorative justice, jenis tindak pidana yang diselesaikan melalui restorative justice, dan menegaskan bahwa restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan tindak pidana (residivis). SKB juga penting mengatur restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap tahap sistem peradilan pidana.

Penulis: Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H (Serdik Sespimti Dikreg ke-33 T.A. 2024)

 

Sumber: Kebijakan Penguatan Restorative Justice di Indonesia (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *