Inovasi Kebijakan Hilirisasi Digital Artificial Intelligence

Indonesia Menyapa, Jakarta – Indonesia perlu bersiap menerima kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bersiap menerima kepemimpinan baru berarti pula bersiap menerima segala kebijakan yang akan mereka putuskan dengan segala pro dan kontra yang dapat menyertainya.

Dalam dua kali debat wakil presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum, Gibran beberapa kali menyebutkan pentingnya hilirisasi digital. Banyak orang mempertanyakan apa maksud dari hilirisasi digital yang disampaikan hingga berulang kali? Apakah ini hanya diskusi semantik atau benar-benar potensi inovasi kebijakan baru?

Dari berbagai penelusuran termasuk diskusi dengan beberapa tim sukses yang memahami maksud dari ucapan Gibran, hilirasi digital yang dimaksud adalah penerapan teknologi digital terbaru dan tepat guna dalam berbagai proses bisnis pemerintahan hingga pengembangan produk-produk teknologi digital secara komersial. Secara umum, konsep ini bukanlah hal baru. Kebaruan yang diinginkan Gibran adalah dobrakan penggunaannya yang lebih aplikatif dan mengembangkan sumber daya manusia, khususnya anak-anak muda, dalam menggawangi penerapan yang aplikatif.

Sebagai contoh, beberapa kali Gibran mengemukakan pandangannya mengenai peluang industri games lokal. Dalam kesempatan lain, penerapan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) juga kerap Gibran sebut. Mengingat Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2024 mengenai Percepatan Pembangunan Industri Gim Nasional, bisa jadi kebijakan Prabowo – Gibran akan lebih menekankan pada penerapan AI sebagai inovasi kebijakan yang diputuskan.

 

Inovasi Kebijakan AI Berkelanjutan

Akhir-akhir ini, banyak sekali yang menyebut pentingnya penggunaan AI. Tapi sedikit sekali yang benar-benar memahami konsep AI. Kita bisa mengingat sekitar 2-3 tahun lalu, di mana hampir semua pejabat Indonesia menyebut pentingnya metaverse. Semua hal di-metaverse-kan. Sekarang? Rasa-rasanya istilah metaverse sudah hilang ditelan bumi.

Gibran dan timnya harus belajar dari fenomena metaverse. Jangan sampai, 1-2 tahun ke depan istilah artificial intelligence hanya sebagai pemanis dan seremoni bagi khalayak yang ingin mendapatkan perhatian. Aslinya, mereka sendiri tidak mengetahui apa itu AI. Lebih buruk, mereka mengklaim memahami AI dengan membawa pakar-pakar AI yang publik tidak mengerti rekam jejaknya.

Agar tidak terjebak di fenomena mercusuar yang sama, AI merupakan sebuah alat. Bukan sebuah tujuan mercusuar. Gibran dapat menelurkan inovasi kebijakan berbasis AI. Misalnya, penerapan bantuan sosial yang lebih tepat guna dan tepat sasaran dengan pengolahan data secara digital melalui sistem AI. Bisa juga melakukan penerapan AI dalam pengolahan data internal bahkan lintas kementerian, sehingga mengurangi tumpang tindih peraturan dan kebijakan lama dengan yang baru.

Oleh karenanya, Gibran perlu membuat sentra AI yang benar-benar terkoneksi satu sama lain. Sentra ini tidak boleh hanya berupa gedung dan seremoni peresmian. Melainkan benar-benar sebuah tim atau think tank yang menstandarisasi perencanaan dan pelaksanaan kebijakan berbasis AI. Patut diingat, AI ini adalah kecerdasan buatan, bukan kecerdasan yang dibuat-buat. Oleh karenanya, segala sistem dan data digital yang dipakai dalam pengembangan kecerdasan buatan ini harus selalu mutakhir. Termasuk pula para punggawa kecerdasan buatan ini.

Agar inovasi kebijakan berbasis AI ini berkelanjutan, jika kita menggunakan teori ekonomi kelembagaan baru yang dikemukakan oleh Williamson (2000) di Journal of Economic Literature dan Prof. Wihana Kirana Jaya (2012) dari Universitas Gadjah Mada, kebijakan ini harus dilembagakan dan jelas aturan mainnya. Inovasi kebijakan dengan penerapan AI dalam membuat kebijakan harus jelas siapa principal dan agent-nya. Hal ini penting karena pemahaman setiap orang atau bahkan pakar yang benar-benar memahami konsep dan penerapan AI bisa saja berbeda-beda. Williamson dan Wihana menyebut hal ini sebagai asymmetric information.

Gibran juga dapat memberikan insentif khusus agar penerapan AI bisa sesuai dengan tujuan dari kebijakan tersebut. Apakah itu insentif secara komersial, hingga insentif secara akademis jika pengembangnya berasal dari pihak kampus atau pusat riset.

 

Hilirisasi AI berbasis Kampus

Sejak platform dan ekosistem Kedaireka digagas oleh Prof. Nizam, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, beserta timnya pada 2020, kampus semakin menggeliat dalam melakukan kolaborasi hilirisasi penelitian dengan industri. Sebagian dari kolaborasi hilirisasi itu justru mengenai AI, baik pembangunan hingga penerapannya.

Kampus bisa menjadi salah satu sentra AI. Gibran tinggal melanjutkan orkestrasi antarsentra ini agar terintegrasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri seperti yang kerap terjadi di Tanah Air. Jika kampus masih membutuhkan waktu lebih dalam mendukung penerapan inovasi kebijakan berbasis AI, maka tidak ada salahnya Gibran dan pemerintah Indonesia ke depan menggandeng kerja sama internasional.

Namun, kerja sama internasional itu harus dikaitkan dengan kampus atau sentra-sentra inovasi berbasis AI yang telah ada. Sehingga, pemerintah Indonesia tidak terjebak menjadi “pengguna” produk hilirisasi dari negara lain, melainkan memfasilitasi pengembangan hiliriasi AI dalam negeri dengan transfer ilmu dari mitra global.

Selama lima tahun ke depan, jika Gibran dapat memimpin penerapan inovasi kebijakan berbasis AI yang merupakan bentuk dari janji kampanye hilirisasi digital, maka kebaruan anak muda yang ditawarkan akan menjadi gebrakan yang tidak akan mudah dilupakan masyarakat.

Willy Sakareza mahasiswa Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM

 

Sumber: Inovasi Kebijakan Hilirisasi Digital Artificial Intelligence (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *