Antara Peran dan Kekusutan Bea Cukai

Indonesia Menyapa, Jakarta — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Indonesia berdiri pada 1 Oktober 1946. Pungutan bea dan cukai, atau biasa disebut bea cukai saja, telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Adapun dasar hukum keberadaan DJBC adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

DJBC mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan, penegakan hukum, pelayanan dan optimalisasi penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. DJBC mengelola keuangan negara dan melaksanakan penerimaan negara melalui bea masuk dan cukai. BC juga memfasilitasi perdagangan internasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun dari awal berdirinya DJBC memang banyak mengalami persoalan di tingkat kewenangan dan sumberdaya manusianya.

Persoalan yang muncul di publik terkait DJBC akhir akhir ini semakin membahana setelah ada beberapa kasus korupsi, persoalan bea masuk, persoalan penyelundupan berbagai komoditas, membuat citra DJBC di mata publik tidak menawan dan semakin memprihatinkan sebagai sumber korupsi, penyelundupan atau pungutan liar. Kasus pemeriksaan yang dianggap menyimpang oleh publik membuat DJBC di pelabuhan dan bandara akhir-akhir muncul di banyak media sosial. Mulai dari persoalan yang terjadi saat ini maupun persoalan di masa lalu, kembali muncul dan seolah olah itu kejadian terkini dan kesalahan mutlak DJBC.

Sejatinya peran DJBC itu di perbatasan atau border mewakili aktivitas sekitar delapan belas Kementerian/Lembaga (K/L) di tingkat perbatasan, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian. Persoalan tersebut sebenarnya bagi DJBC merupakan dampak peraturan yang terkait dengan keluar-masuk barang –kalau keluar-masuk orang ada di Direktorat Jenderal Imigrasi. Di tulisan kali ini saya mencoba memahami regulasi dan kebijakan di DJBC terkait ekspor-impor.

 

Diramaikan Keluhan

Saat ini sedang diramaikan keluhan pengenaan pajak dalam rangka impor terhadap kiriman dokumen/ijazah dari luar negeri, jenazah dan peti mati, penyobekan tas bermerek, barang barang TKI yang terhambat dan diharuskan membayar bea masuk dan cukai serta banyak hal lain yang terjadi di port of entry atau pintu masuk ke Indonesia.

Belajar dari kasus-kasus yang terjadi saat ini, saya penasaran untuk melakukan pengamatan dan berselancar di media sosial. Ternyata banyak sekali kasus perbatasan yang ditangani DJBC imbasnya ke DJBC padahal kebijakannya ada di K/L lain. Kasus terakhir minggu ini adalah tertumpuknya lebih dari 26.000 kontainer di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak yang disebabkan adanya peraturan dan kebijakan dari Kementerian Perdagangan.

Contoh kasus yang viral di medsos adalah kasus tagihan bea masuk sebesar Rp 45.000 atas kiriman Express Mail Service (EMS) yang berisi sertifikat dan transkrip nilai. Setelah ditelusuri, ternyata tagihan terhadap kiriman barang yang bersangkutan hanya terdiri dari biaya administrasi pos (Rp 5000), biaya handling (Rp 35.000) dan PPn 11% (Rp 4.400). Perlu dilakukan edukasi oleh DJBC supaya publik dapat memahami dan mencermati jenis tagihan yang dipungut di border karena tidak semua tagihan merupakan tagihan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor, tetapi ada unsur tagihan dari penyelenggara pos seperti administrasi pos dan biaya handling.

Begitu pula kasus lain yang sempat heboh terkait peti jenazah dari luar negeri. Karena bea yang harus dibayarkan oleh keluarga adalah biaya sewa gudang dan biaya cargo handling dari gudang ke pesawat dan pesawat ke gudang di Tanah Air (Kawasan Cargo) yang tidak dipungut oleh DJBC tetapi di lapangan yang menangani petugas DJBC.

Kasus lain yang baru-baru ini sempat viral namun kasusnya sudah selesai lama, penumpang tiba di bandara dan kena giliran random check ditemukan berbagai makanan dan dilaporkan tetapi kena denda sampai jutaan karena ternyata yang dilaporkan makanannya, tetapi tas baru yang menyertai makanan tersebut tidak dilaporkan. Jadi denda bea masuknya bukan terhadap berbagai jenis makanan yang dibawa (seperti yang diviralkan), tetapi denda atas tas baru yang harganya puluhan juta melebihi batasan yang masuk kategori bebas.

Filosofi peraturan di border, setiap barang dari luar negeri ke Indonesia adalah barang impor. Setiap barang impor terhutang bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Namun barang impor itu sendiri dibedakan dengan beberapa kategori:

1. Impor umum, yaitu impor cargo dari hasil perdagangan (berdasarkan atau sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2023)

2. Barang bawaan penumpang, yaitu barang keperluan pribadi selama melakukan perjalanan. Barang bawaan itu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK. 04/2017 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut

3. Barang kiriman, bisa berupa hasil perdagangan (on line shop), hadiah/gift, hibah, sampel ataupun barang pengganti diatur dengan PMK 96 Tahun 2023 jo. PMK 111 Tahun 2023,

4. Barang pindahan, yakni barang-barang yang dipakai/digunakan oleh orang Indonesia selama bertugas atau sekolah di luar negeri diatur dengan peraturan UU No. 10 tahun 1995 Jo UU. No 17 tahun 2006 dan PMK 28/PMK.04/2008

Empat kategori di atas diatur masing-masing karena memang berbeda bisnis prosesnya maupun persyaratannya. DJBC berada di bawah Kemenkeu karena tusi pokoknya adalah di bidang fiskal. Sementara barrier to import ada dua jenis, yaitu; pertama, fiskal, berupa pungutan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PPn dan PPh impor); kedua, non fiskal, berupa aturan tata niaga.

Namun karena international best practice yang berada di border adalah CIQ (Customs atau Bea Cukai, Imigration, Quarantine), maka aturan yang bersifat non fiskal pelaksanaannya dititipkan ke DJBC untuk dieksekusi. Kalau tidak, maka 18 K/L akan ada di border semua. Di sinilah permasalahan menjadi lebih kompleks. Banyak aturan yang tidak berlaku dan tidak sinkron. Jadi di sinilah sering DJBC sebagai eksekutor sering di-bully publik di media sosial.

 

Langkah yang Harus Diambil

Pertama, DJBC harus melakukan komunikasi aktif pada publik atas berbagai jenis pungutan baik fiskal maupun non fiskal. Jelaskan pada publik jenis pungutan apa yang memang menjadi kewenangan DJBC, atau DJBC hanya memungut di border mewakili K/L lain sesuai peraturan yang berlaku. Komunikasi DJBC dapat melalui medsos maupun digital information di semua bandara dan pelabuhan internasional sehingga mudah dibaca dan dipahami publik.

Perbaiki citra aparat DJBC dengan kerja sesuai dengan tata kelola (governance) dan akhlak yang baik. Jika ada oknum aparat DJBC yang terbukti bekerja tidak sesuai dengan tata kelola dan akhlak yang selalu di gaung-gaungan di organisasi pemerintah, harus ditindak tegas. Kalau di medsos ada viral terkait kinerja DJBC, harus dijawab secepatnya sebagai hak jawab DJBC supaya viral tidak berlanjut.

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen

 

Sumber: Antara Peran dan Kekusutan Bea Cukai (detik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *